Ada satu jenis manusia kampus yang tak pernah benar-benar “tua” dan punah. Rambutnya memang mulai memutih bahkan semakin menipis—nyaris botak, tapi semangatnya tetap merah menyala—seperti spanduk demonstrasi yang dulu ia tulis dengan cat pilox di atas kain bekas sprei asrama.
Lima puluh tahun sudah ia hidup dalam satu misi sederhana tapi berisiko tinggi: merawat kebebasan mahasiswa berekspresi. Ia tahu, itu pekerjaan yang tidak pernah selesai.
Kadang berbuah tepuk tangan, dicemoh rektorat, kadang dikejar Laksusda Kodam XIV Hasanuddin.
Suatu siang yang mulai sunyi, di toilet fakultasnya sendiri, sang guru besar ini tergelincir. Terpelanting dengan gaya bebas. Sisa-sisa refleksi saat latihan terjun payung Resimen Mahasiswa masih diingatnya, tapi ketangkasan itu termakan usia. Sikunya penuh darah–menetes di pintu masuk toilet, dadanya sesak, seakan tubuhnya ingin berpindah alam—tapi rupanya Tuhan belum menandatangani surat cuti panjang untuknya. Katanya sambil tertawa kecil, saat dikerumuni pegawai fakultas yang membawa box P3K, “Mungkin Allah memakluminya, ia hendak mengambil wudhu, sholat dhuzur sambil menunggu jadwal mengajar siang.” Dua pekerjaan mulia, sebelum pulang mengasuh cucunya.
Sebulan kemudian, lukanya belum kering, ia sudah berdiri lagi di depan kamera media massa –pelataran rektorat. Membacakan pernyataan sikap menolak UU Pemilu bersama sejumlah dosen senior dan guru besar peduli demokrasi. Gagal memang, tapi bukan berarti kalah. Bersamaan hari itu, maklumat rektor datang—tapi yang datang pernyataan sikap beberapa berikutnya jauh lebih besar: 109 guru besar kampusnya menyetujui menolak revisi Pilkada UU, kali ini berhasil. Dan maklumat rektor sudah tiada, terasa memahami. Katanya lagi sambil tersenyum, “Tuhan memang lucu, kadang kita jatuh dulu baru berdiri tegak.” Padahal, di TikTok biasanya viral bahwa kalau terjatuh di toilet biasanya tak berumur panjang, terhitung bulanan saja.
Sejak masih mahasiswa, ia sudah langganan ditahan rezim Orde Baru (Orba). Keluar-masuk sel tahanan politik Laksusda/Kodam XIV Hasanuddin. Bukan kriminal, cuma “tahanan terhormat,” seperti julukan tahanan Petisi 50. Para intel Kodam menyebutnya “langganan”, saat harus menjemputnya kembali pada peristiwa berikutnya. Ironisnya, saat reformasi bergulir, justru dia yang dipercaya jadi Pembantu Rektor (PR III) urusan mahasiswa dan Alumni. Ia tertawa khas aktivis waktu mengenang itu, “Dulu saya dikejar tentara, sekarang saya malah mendampingi mahasiswa yang dikejar aparat polisi. Lengkap sudah karmanya.”
Tapi ia tak berhenti di situ. Dibantu honor mengajarnya, ia menulis dan menerbitkan buku memoar berjudul “Demokrasi Untuk Anak Bangsa : Kritik Tajam Guru Besar dan Dosen UNHAS Peringatkan Jokowi dan Elit Politik”. Diedit sendiri, dicetak sendiri, dikirim sendiri ke kampus-kampus dan relasi seperjuangan. Ia memasukkan belasan dosen senior dan guru besar sebagai editor bersama. Katanya dengan wajah bersolek jenaka, “Ini tindakan tolol yang paling saya banggakan. Karena cuma orang tolol yang masih percaya bahwa semangat dosen dan guru besar kritis bisa dirawat lewat buku memori.”
Minggu ini di awal oktober, ia kembali ke ruang kelas besar di gedung baru fakultasnya. Mengajar mahasiswa baru yang wajahnya mirip anak muda TikTok. Seusai kuliah, ia berdiri di lobi fakultas menunggu gojek orderannya–-pulang ke perumahan dosen di seberang kampus. Mahasiswa-mahasiswi itu lewat—melintas begitu saja—tanpa senyum, tanpa sapa. Lagak Gen-Z, mungkin begitu. Ia hanya tersenyum bergumam, “Rasanya dulu saya tak seperti itu, mungkin karma kampus ‘tranksaksional’ melengkapi nuansa hari ini.”
Saat penarikan nomor urut Calon Rektor Unhas (2026-2030), ia bersamaan pulang salah seorang calon rektor menuju parkiran rektorat. Di pinggiran jalan–-di samping pos satpam, ia langsung mengangkang menaiki sadel sepeda motor seorang mahasiswanya yang sudah menungguinya untuk mengantar kembali mengajar di fakultasnya. Salah seorang calon rektor tersebut menegur bergurau, “mengapa profesor naik motor” ?. Saat itu, ia masih memakai seragam jas merah alamamaternya sebagai anggota SA. Ia hanya tersenyum, tak bersoal. Ia lalu membalasnya dengan gaya pramuka, “Kenapa sohib kita (menyebut nama seorang sahabat), tidak mengawalki saat pendaftaran calon” ?. Calon rektor itu menjawab, sahabat kita itu bilang; “Saya hanya mengawalmu, kalo kamu mau pergi menikah” ?. Ia sendiri, sudah beberapa kali masuk calon rektor –membacakan visi-misi-dan gizinya, tapi tak pernah berhasil, konon sekadar meramaikan – biar terkesan demokrasi kampus tidak sakit.
November ini, genap 40 tahun ia mengabdi di fakultas homebase-nya. Setahun lagi ia pensiun. Ia tahu, sebentar lagi dirinya akan “digudangkan” seperti lokomotif tua yang sudah menempuh ribuan kilometer perjalanan panjang. Tapi siapa bilang lokomotif berhenti punya tenaga?. “Kereta boleh berhenti,” katanya pelan menghibur diri, “tapi peluitnya tetap bisa membangunkan kampus yang sedang tidur.” Dan ia tertawa lagi—tawa khas seorang demonstran yang tak pernah benar-benar pensiun dari pergolakan mahasiswa.
Suatu hari dalam perjalanan pulang dari kampus, di atas gojek yang menebar aroma bau jaket lusuh, ia terganggu celutuk seorang yuniornya – mantan Ketua DPRD Makassar, “Mengapa ‘aktivis tulen’, anak-anak mereka terlantar”. !!!