KADO KECIL BUAT CALON REKTOR UNHAS (2026-2030)
Generasi mahasiswa hari ini hidup dalam lanskap yang berbeda sama sekali dari generasi akhir 1970-an atau 1998. Mereka lahir dan tumbuh di tengah layar digital, di dunia yang bergerak cepat dan tanpa sekat. Dunia mereka ditandai oleh feed, hashtag, dan algoritma — bukan selebaran, buletin, atau rapat senat mahasiswa. Namun di balik semua perubahan itu, ada hal yang tak pernah benar-benar lenyap: keresahan.
Gen Z adalah generasi yang penuh kesadaran, tapi sering merasa gamang menentukan bentuknya. Mereka tahu ada masalah di sekitarnya — isu lingkungan, kesenjangan sosial, krisis mental health, bahkan ketimpangan digital — namun cara mereka merespons tidak lagi dengan megafon dan poster. Mereka lebih memilih content creation, kampanye sosial, atau gerakan donasi daring. Bagi mereka, dunia digital bukan sekadar ruang hiburan, melainkan arena politik baru.
Dalam satu dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana aktivisme berpindah bentuk: dari ruang fisik ke ruang siber. Petisi daring bisa mengguncang kebijakan, tagar bisa menggantikan orasi, dan video berdurasi satu menit bisa lebih kuat daripada satu jam pidato di aula fakultas. Aktivisme bukan lagi monopoli organisasi — siapa pun yang memiliki awareness dan kemampuan digital bisa menjadi penggerak.
Namun di titik ini pula letak paradoksnya. Aktivisme digital sering kali cepat menyala, tapi cepat pula padam. Ia viral sesaat, tapi jarang menimbulkan struktur gerakan yang berkelanjutan. Tidak ada proses kaderisasi, tidak ada ruang refleksi mendalam, dan tidak ada kesadaran kolektif yang membentuk identitas bersama. Gerakan menjadi fragmented, seperti riak-riak kecil yang tak pernah bertemu menjadi ombak.
Di sinilah BEM Unhas seharusnya hadir kembali — bukan untuk menggantikan semangat digital itu, tapi untuk menyatukannya pikiran dan pergerakan dalam arah yang lebih strategis.
BEM perlu menjadi jembatan antara idealisme yang tercerai di media sosial dan aksi nyata di kampus.
Generasi Gen Z – mahasiswa Unhas memiliki keunggulan yang tak dimiliki generasi sebelumnya: mereka adaptif, kreatif, dan berani bereksperimen. Tapi keunggulan itu perlu ruang yang bisa menyalurkannya. BEM Unhas bisa menjadi ecosystem of ideas — tempat gagasan mahasiswa lintas fakultas bertemu, bereksperimen, dan melahirkan inisiatif nyata. Dari mahasiswa teknik yang tertarik dengan energi bersih, mahasiswa kedokteran yang fokus pada isu kesehatan mental, hingga mahasiswa sosial yang peka terhadap ketimpangan desa-kota — semua bisa menemukan ruang kolaboratifnya di bawah payung yang sama.
Aktivisme generasi ini tidak harus keras untuk menjadi kritis. Ia bisa halus, estetik, bahkan jenaka — asal tetap menggigit. Inilah saatnya BEM Unhas membaca ulang bahasa zaman: bahasa yang tidak lagi hitam-putih, tapi cair, digital, dan penuh kolaborasi.
Maka, kebangkitan BEM Unhas bukan soal menyalakan megafon kembali, tapi soal menemukan ritme baru dalam cara berjuang. Karena di balik semua gawai dan notifikasi, generasi ini tetap memiliki hal yang sama dengan generasi sebelumnya: rasa ingin berarti.
***
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi organisasi mahasiswa, bukan hanya di Unhas tetapi juga di banyak kampus lain, adalah kehilangan makna struktural.
BEM Unhas yang semestinya menjadi pusat gagasan justru sering terjebak dalam rutinitas administratif. Agenda yang dulunya menggetarkan — seperti forum diskusi kebijakan kampus atau riset sosial mahasiswa — kini berganti menjadi laporan kegiatan, surat menyurat, dan dokumentasi seremonial.
Akibatnya, politik kampus menjadi kehilangan daya gugah.
Mahasiswa tidak lagi melihat BEM sebagai tempat di mana ide besar dilahirkan, melainkan sebagai wadah bagi mereka yang “suka organisasi”. Dalam berbagai survei informal dan percakapan antar mahasiswa, muncul pola yang mirip: mereka menghargai eksistensi BEM, tetapi merasa jauh darinya. BEM seperti ruang yang sibuk sendiri, berbicara pada dirinya sendiri, tanpa benar-benar mendengar denyut di luar dinding sekretariat.
Fenomena ini bukan terjadi karena kemalasan, tetapi karena ketidaksesuaian antara struktur dan semangat zaman. Struktur BEM masih bercorak piramidal: presiden, kabinet, divisi, dan biro. Sementara semangat generasi sekarang lebih horizontal, cair, dan berbasis proyek. Mereka terbiasa bekerja dalam tim kecil yang fokus pada hasil konkret, bukan dalam sistem birokrasi yang berlapis-lapis.
Di titik ini, tampak jelas betapa BEM perlu melakukan transformasi organisasi — bukan sekadar memperbarui AD/ART, tapi mengubah paradigma geraknya.
Masalah lain yang menambah kelesuan adalah politik internal. Pemilihan presiden mahasiswa kadang lebih ramai dengan intrik daripada ide. Kampanye diwarnai janji-janji administratif, bukan visi substantif. Debat kandidat lebih sering menjadi ajang retorika, bukan ruang konseptual. Akibatnya, ketika periode kepengurusan dimulai, BEM Unhas berjalan seperti mesin yang kehabisan bensin. Ia bergerak karena kewajiban, bukan karena inspirasi.
Sejumlah alumni BEM Unhas yang kini aktif di dunia profesional sering mengungkapkan keprihatinan yang sama: “Kami dulu belajar berdebat untuk memperjuangkan gagasan, bukan posisi.” Tapi kini, banyak pengurus muda yang justru terperangkap dalam logika struktural — lupa bahwa organisasi mahasiswa sejatinya adalah ruang belajar berpikir kritis dan memimpin perubahan, bukan sekadar latihan birokrasi.
Dalam wawancara dengan beberapa mahasiswa lintas fakultas, muncul nada getir namun jujur: “BEM Unhas penting, tapi kami tidak tahu apa yang mereka lakukan.”
Kalimat itu mencerminkan jarak yang makin lebar antara lembaga dan konstituennya.
Ketika organisasi kehilangan visibilitas dan relevansi, yang muncul bukan apatisme murni, melainkan kelelahan sosial — kelelahan untuk percaya.
Namun, di balik kelesuan itu, masih tersisa bara kecil: keinginan untuk memperbaiki. Banyak mahasiswa yang sebenarnya ingin melihat BEM Unhas bangkit lagi, tapi dengan wajah baru. Mereka ingin organisasi yang terbuka, kolaboratif, dan relevan dengan realitas hari ini. Mereka ingin BEM yang bisa menjawab keresahan zaman: krisis iklim, kecemasan digital, hingga masa depan pekerjaan.
Dan mungkin, itulah yang sedang menunggu di tikungan sejarah.
Karena setiap kali BEM Unhas kehilangan arah dan tak berdaya, selalu muncul generasi yang berani menyalakan kembali kompasnya.
Sejarah telah membuktikan: dari ruang sunyi pun, api bisa lahir kembali.
Hanya butuh satu point— keberanian untuk mengubah cara bergerak, dibarengi kesungguhan rektor terpilih memberi ruang.
***
Ada masa ketika jalan-jalan kampus Unhas menjadi saksi setiap keresahan mahasiswa. Dari Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), lapangan bola, Gedung Ristek dan Gedung Pertemuan Alumni (GPA), hingga taman rektorat, suara mahasiswa menggema, membawa poster dan seruan moral. Namun kini, ruang itu berganti. Bukan lagi aspal dan mikrofon yang menjadi panggung, melainkan timeline, story, dan reels. Pergeseran arena ini tidak bisa dianggap kemunduran—ia adalah perubahan medium.
Kita sedang hidup di era ketika isu sosial dibicarakan bukan di panggung orasi, melainkan di kolom komentar; ketika solidaritas diwujudkan melalui link donasi dan digital campaign. Namun, di balik kemudahan ini, ada bahaya besar: kehilangan kedalaman dan daya tahan. “Rewai kalo di medsos, accakkuruki kalo di arena juang.”
Aktivisme yang lahir di medsos sering bersifat episodik — cepat muncul, cepat tenggelam. Gelombang simpati bergantung pada algoritma, bukan pada jaringan kesadaran kolektif. Maka, pertanyaannya bukan “apakah mahasiswa hari ini masih peduli?” tapi “bagaimana kepedulian itu bisa terorganisir kembali?”
BEM Unhas (jika mau bangkit lagi) harus berani membaca arah perubahan ini. Ia perlu menggeser dirinya dari sekadar organisasi kampus menjadi platform gerakan mahasiswa digital.
Artinya, bukan hanya punya akun Instagram yang aktif, tetapi menjadi ruang produksi wacana yang konsisten, kredibel, dan membentuk opini publik kampus.
Bayangkan jika BEM Unhas tidak hanya membuat pengumuman kegiatan, tetapi rutin merilis policy brief, mini podcast, atau data insight terkait isu mahasiswa dan kebijakan kampus. Misalnya, hasil survei tentang kebutuhan dasar dan tingkat kesejahteraan mahasiswa, persepsi terhadap mutu pembelajaran, atau tantangan mahasiswa di pelosok terluar, tertinggal dan terabaikan. Semua itu bisa dikemas ringan, visual, dan menarik — namun tetap ilmiah dan berakar pada riset (evidence based).
Dengan begitu, BEM Unhas (jika bangkit) bukan sekadar penonton di ruang digital, tapi aktor utama yang mengarahkan percakapan.
Dalam era informasi yang berkejaran waktu, narasi adalah kekuasaan baru. Dan mahasiswa, seharusnya, adalah pengendali narasi itu.
Namun untuk melakukan itu, BEM Unhas (jika bangkit) perlu mengubah paradigma komunikasinya. Tidak cukup dengan jargon idealisme klasik. Gen Z tidak tergerak oleh kalimat “hidup mahasiswa!” — mereka lebih tergugah oleh kisah personal, visual autentik, atau ajakan kolaboratif. Mereka mencari meaning, bukan sekadar slogan.
Di sinilah peran BEM baru Unhas : bukan hanya menjadi corong aspirasi, tapi fasilitator makna. Dengan pendekatan ini, BEM baru Unhas bisa menjadi laboratorium sosial bagi mahasiswa — tempat mereka belajar tidak hanya berorganisasi, tapi juga mengelola pengetahuan, narasi, dan gerakan. Pergeseran arena bukan berarti hilangnya ideologi, melainkan adaptasi bentuk perjuangan dalam ekosistem digital.
Jalanan kini bergeser ke layar, tapi idealisme tetaplah darah yang sama — hanya berganti wadah.
***
Sejak awal kelahirannya, BEM di banyak kampus Indonesia punya peran historis sebagai kekuatan kritis — bahkan oposisi terhadap kekuasaan kampus dan negara.
Namun, dalam konteks kekinian, garis batas itu mulai kabur. Kampus tidak lagi sekadar otoritas administratif, melainkan ruang kompleks yang terhubung dengan industri, birokrasi, dan masyarakat. Dalam situasi seperti ini, sikap “melawan” saja tak cukup. Yang dibutuhkan adalah strategi kolaboratif — melawan jika perlu, bekerja sama jika mungkin. BEM Unhas (jika bangkit) harus merumuskan ulang dirinya: bukan sekadar badan eksekutif, tapi agen perubahan sosial kampus.
Artinya, ia tidak hanya menuntut, tapi juga menawarkan solusi; tidak hanya bereaksi, tapi juga merancang kebijakan alternatif. Misalnya, dalam isu kesejahteraan mahasiswa, BEM Unhas bisa bekerja sama dengan fakultas ekonomi untuk melakukan survei tentang biaya hidup dan akses beasiswa; dengan fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan masyarakat untuk merancang program kesehatan mental mahasiswa; atau dengan fakultas teknik untuk mendesain ruang publik ramah disabilitas di kampus.
Kolaborasi lintas disiplin ini akan mengembalikan semangat sejati universitas: universitas sebagai rumah ilmu yang bersatu untuk kebaikan bersama.
Perubahan paradigma ini juga akan menuntut transformasi budaya organisasi. BEM Unhas (jika bangkit) perlu keluar dari politik transaksional dan kembali ke politik gagasan.
Setiap kebijakan kampus — mulai dari kurikulum, sistem akademik, hingga tata ruang kampus — seharusnya dibaca dan ditanggapi oleh mahasiswa dengan argumen, data, dan riset, bukan dengan slogan.
BEM Unhas (jika bangkit) harus belajar menjadi “think tank mahasiswa”: mengumpulkan data, menganalisis, lalu menyampaikan rekomendasi berbasis bukti.
Inilah aktivisme baru: bukan hanya orasi, tapi argumentasi; bukan hanya protes, tapi juga policy proposal.
Dan yang paling penting, BEM Unhas (jika bangkit) harus menumbuhkan kembali etos kolektif. Bukan sekadar “kami pengurus” dan “mereka mahasiswa”, tapi “kita semua bagian dari Unhas yang sedang belajar menjadi masyarakat ilmiah.” Etos ini penting, karena di dalamnya ada kesadaran bahwa perubahan sosial tidak datang dari satu struktur organisasi, tapi dari ekosistem gagasan yang hidup.
Mungkin inilah titik kebangkitan BEM baru Unhas — ketika ia tidak lagi menjadi simbol masa lalu, tetapi proyek masa depan.
Sebuah organisasi yang tidak hanya merekam sejarah, tapi juga menulis babak barunya:
BEM Unhas (jika bangkit) sebagai jembatan antara idealisme dan inovasi, antara nalar dan aksi.
***
Di dunia yang berubah cepat ini, kampus tak lagi bisa dipahami sekadar sebagai tempat menimba ilmu. Ia adalah miniatur masyarakat, bahkan laboratorium masa depan bangsa. Maka, organisasi mahasiswa seperti BEM Unhas (jika bangkit) bukan hanya “alat representasi”, tetapi seharusnya menjadi ruang inovasi sosial.
Di sinilah tantangan baru menanti: bagaimana BEM baru Unhas bisa menjadi inkubator gagasan, tempat ide mahasiswa tumbuh dan menemukan bentuk konkretnya?
Bayangkan sebuah BEM baru Unhas yang bukan hanya sibuk mengurus prosedur administrasi, tetapi juga mengelola platform ide mahasiswa. Misalnya, Idea Lab Unhas — forum bulanan di mana mahasiswa lintas fakultas mempresentasikan solusi bagi isu-isu sosial, lingkungan, dan kampus.
Dari ide-ide itu, BEM baru Unhas bisa menyalurkan ke program universitas, CSR, atau bahkan inkubator startup sosial.
BEM baru Unhas juga bisa menjadi pusat open data mahasiswa — menyimpan hasil survei, opini, hingga riset kecil yang bisa digunakan untuk mendorong perubahan kebijakan kampus. Di era data-driven society, kekuasaan lahir bukan dari jumlah massa, melainkan dari kualitas data dan narasi-argumentasi.
Lebih dari itu, BEM baru Unhas bisa bertransformasi menjadi komunitas belajar sosial (learning community) — tempat mahasiswa bukan hanya aktif secara organisatoris, tapi juga bertumbuh secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Diskusi, riset mini, lokakarya kepemimpinan, hingga pelatihan jurnalistik mahasiswa bisa menjadi bagian dari programnya. Dengan demikian, BEM baru Unhas kembali menjadi “sekolah kecil tanpa pagar” bagi kader perubahan — bukan sekadar tempat mencari portofolio CV.
BEM baru Unhas punya peluang besar untuk menjadi model nasional dalam konteks ini.
Unhas bukan sekadar universitas besar di Kawasan Indonesia Timur; ia adalah simbol persilangan antara tradisi intelektual dan keindonesiaan maritim. Semangat kebaharian. Tak kan laait pelsut ulung, di opbak yang tenang.
Jika BEM baru Unhas mampu menampilkan wajah baru — kolaboratif, inklusif, dan inovatif — maka ia akan memancarkan semangat baru bagi gerakan mahasiswa modern di seluruh negeri.
Sebab, di tengah dunia yang semakin kompleks, mahasiswa bukan lagi “penonton perubahan”, melainkan arsitek masa depan.
Dan BEM baru Unhas, sejatinya, adalah bengkel tempat arsitek-arsitek itu belajar merancang dunia baru.
Di Tamalanrea — kampus yang dulu lahir dari semangat membangun peradaban baru di pinggiran Kota Makassar — sejarah idealisme mahasiswa sebenarnya tak pernah benar-benar padam. Ia hanya tertidur di antara tumpukan rutinitas dan notifikasi digital.
Namun sesekali, api itu masih tampak: di ruang diskusi kecil, di kolom komentar yang jujur, di aksi solidaritas spontan untuk sesama mahasiswa, atau di konten digital yang menggelitik kesadaran publik.
Api itu mungkin kecil, tapi nyala.
Dan kini, tugas generasi baru adalah menjaganya agar menyala lagi — dengan cara mereka sendiri. Kebangkitan BEM baru Unhas bukanlah nostalgia romantik atas masa lalu, tetapi proyek rasional tentang masa depan.
Ia menuntut keberanian untuk bertanya ulang: “Apa arti menjadi mahasiswa hari ini?”.
Apa peran kita dalam dunia yang nyaris seluruhnya dikendalikan algoritma, pasar, dan birokrasi pengetahuan?. Bagaimana kampus bisa menjadi ruang keberpihakan, bukan sekadar tempat mencari ijazah?. Pengakuan semu.!
Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu berarti menghidupkan kembali semangat “TAMALANREA” — pilihan tepat Prof. A.Amiruddin, rektor panutan kita. Tamalanrea : tempat belajar tak pernah jemu, tempat membangun kesadaran sosial.
BEM baru Unhas, dalam konteks ini, bukan sekadar organisasi, melainkan simbol keberanian untuk berpikir dan bergerak di luar batas.
Kita mungkin tidak lagi berorasi di jalan-jalan, tapi masih bisa mengguncang lewat narasi dan gagasan. Kita mungkin tidak lagi mencetak buletin stensilan, tapi bisa menulis dan menyebarkan ide di ruang digital yang menjangkau puluhan ribu orang.
Dan kita mungkin tidak lagi menyebut diri sebagai “aktivis”, tapi tetap hidup dalam semangat aktivisme — semangat untuk tidak diam terhadap ketidakadilan, untuk tidak tunduk pada arus kebiasaan, untuk terus bertanya dan mencipta untuk mentaga marwah almamater.
BEM baru Unhas seharusnya bukan “penerus” masa lalu, tetapi penafsir baru sejarahnya.
Ia tidak menyalin gaya perlawanan lama, tetapi menulis cara perlawanan baru — perlawanan yang kreatif, solutif, dan bernas.
Jika dulu mahasiswa Unhas menggetarkan kampus lewat mimbar bebas, maka kini mereka bisa mengguncang lewat konten kritis, riset, atau inovasi sosial.
Intinya sama: menjadi suara nurani di tengah kebisuan.
Menyalakan kembali BEM Unhas berarti menyalakan kembali kesadaran kolektif bahwa kampus bukan ruang netral — ia adalah ruang moral. Tempat di mana ide, integritas, dan keberanian bertemu untuk menulis arah masa depan.
Dan dari Tamalanrea, mungkin bara kecil itu akan membesar lagi — seperti dulu, ketika sejarah kampus ini masih muda dan berani.
Bedanya, kini ia akan menyala dengan wajah baru: cerdas secara digital, terbuka terhadap kolaborasi, dan tetap teguh menjaga nurani.
Karena sesungguhnya, menjadi mahasiswa adalah belajar untuk selalu care – peduli sekitar kehidupan nyata.
BEM Unhas bisa bangkit lagi — bukan dengan meniru masa lalu, tetapi dengan menciptakan masa depan. Dengan bahasa baru, teknologi baru, dan kesadaran baru, BEM baru Unhas dapat menjelma menjadi pusat inovasi sosial, ruang produksi pengetahuan, dan wadah kepemimpinan intelektual mahasiswa.
Tamalanrea telah melahirkan banyak generasi yang berpikir dan berjuang. Kini saatnya generasi Gen Z melanjutkan kisah itu — bukan dengan teriakan, tetapi dengan karya; bukan dengan oposisi semata, tetapi dengan kolaborasi; bukan dengan nostalgia, tetapi dengan visi.
Karena di setiap zaman, selalu ada mahasiswa yang bangkit untuk berkata:
“Kampus ini terlalu berharga untuk dibiarkan diam.”