Di masa kepemimpinan A. Amiruddin sebagai Rektor Unhas, ragam kegiatan berkesenian cukup unik. Rektor Amiruddin dengan berani dan yakin mengundang dan membiarkan kehadiran pesohor seni Indonesia tampil di kampus Unhas. Tak hanya menghadarkan Amri Yahya sipelukis kondang, tapi juga penyair eksentrik seperti Sutarji Kalsum Bachry.
Tawaran nuansa seni-budaya di Unhas, tak lepas dari ‘jejaring’ S. Sinansari Ecip—novelis unggul, pemenang lomba menulis novel dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), beberapa kali. Ecip juga pemenang menulis puisi DKJ.
Seniman dan budayawan berstatus dosen Unhas, ternyata cukup banyak aktif di Dewan Kesenian Makassar (DKM) seperti Mattulada (alm), M.Anwar Ibrahim (alm), Ishak Ngeljaratan (alm), Fahmy Syariff (alm), Nunding Ram, Atja Razak Thaha, Amran Razak, dan Ridwan Effendy (alm).
Seniman dan budayawan alumni atau pernah kuliah di Unhas seperti Mochtar Pabottingi, Aspar, Yudhitira Sukatanya-Edy Thamrin, S.M.Noor, Luna Vidia; Baso Natsir, Moch.Yayath Pangerang, Ilham Anwar, Rudy Harahap, Anie Dunda, Asniar Ishak, dan Fitri.
Pagelaran seni dan puisi setiap peristiwa penting biasanya digelar di Lapangan Catur, depan aula Fakultas Kedokteran – samping rektorat Unhas kampus lama Baraya yang biasanya ramai ditonton rakyat.
Pada awal 1980-an, sekelompok penyair mahasiswa Unhas mendeklarasikan berdirinya Serikat Penyair Kampus (1981-1983), digagas Mahrus Andies, Ridwan Effendy (alm), dan Amran Razak, Amri Tandulangi (alm). Deklarasi dimaksudkan sebagai bentuk ‘pemberontakan’ penyair muda kampus yang disepelekan penyair kondang Dewan Kesenian Makassar (DKM). Sejalan dengan terbitnya beberapa edisi—kumpulan puisi di media stensilan Balance Pers Group (BPG), yang sempat pula diberi panggung DKM. Aktivis Serikat Penyair Kampus, mengembara di Pusat Kegiatan Mahasiswa(PKM) kampus lama Baraya – jalan Sunu.
“Tampomas dalam Puisi”, berkisah tentang tenggelamnya kapal Tampomas II di Masalembo. Kumpulan Puisi ini dieditori oleh sastrawan nasional, S. Sinansari Ecip diterbitkan Dewan Kesenian Makassar (DKM). Memuat banyak karya penyair kampus.
Surat kabar kampus (Skk) Identitas belasan tahun menyajian rubrik Seni-Budaya, berupa cerita pendek, ulasan sastra-budaya, puisi kontemporer. Puisi-puisi belasan tahun itu, lalu dibukukan skk. Identitas berjudul “Napas Kampus”– editornya Anil Hukma. Sejumlah nama bertebaran dalam kumpulan puisi kampus tersebut : A.Razak Thaha, Amran Razak, Anil Hukma, Ridwan Effendy (alm), Mahrus Andies, Amri Tandulangi, Nunding Ram, Eman – M.Anwar Ibrahim (alm), Arsunan Arsin, dan Rahyuddin Nur Cegge.
***
Di tahun 1981 jelang Dies Natalis Unhas, kampus Universitas Hasanuddin mulai berpindah dari Baraya ke kampus baru Tamalanrea, kampus itu masih sunyi. Hamparan tanah merah dan deretan pohon flamboyan menjadi saksi tumbuhnya generasi baru mahasiswa yang haus akan pengetahuan dan kebebasan berpikir.
Kehidupan akademik mulai berdenyut, tapi di baliknya terselip sesuatu yang lebih dalam: kerinduan akan ruang dialog yang bebas, tempat mahasiswa bisa berbicara tanpa dibatasi kurikulum, tanpa takut pada kekuasaan..
Maka lahirlah berbagai kelompok studi dan komunitas seni-kultural. Ada yang membahas politik, ada yang mendalami filsafat, ada pula yang menjadi-kan sastra sebagai jembatan menuju kesadaran sosial. Dari ruang kecil, selasar fakultas, hingga taman-taman kampus, muncul komunitas yang kelak dikenang sebagai penjaga ruh humaniora Tamalanrea.
Hiasan awal kegiatan seni mahasiswa, saat perkemahan urakan mahasiswa di lapangan tengah kawasan FIS kampus Tamalanrea. Dekan FIISBUD saat Kustiah Kristanto (almh) dan PR III kemahasiswaan Noer Nasry Noor, ikut bermalam memantau perkemahan mahasiswa urakan. Mereka terinspirasi Perkemahan Urakan Teater Alam – W. S, Rendra di Pantai Tritis, Jogyakarta, ujar Moch. Yayath Pangerang (alm) selaku ‘host’ kala itu. Tentulah tak lazim, berkemah urakan selama 3 hari, memakai tenda Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) – Angkatan Udara. Di sinilah, lahir kumpulan Sajak-sajak Malam, sajak-sajak melankolis karya Faturahman, Mahrus Andies, Ridwan Effendy (alm), Amri Tandulangi (alm), Amran Razak, dan Rahyuddin Nur Cegge. Di panggung malam, disajikan pula Musik Dapur dari SEMA Kelas Sore – dirigennya Philip Luhulima (alm). Ornamen penampilan seni orkestra diolah Ombenk-Abd Gani (alm) terkenal piawai.
PERTEMUAN PENYAIR MAKASSAR
Di tahun 1995-1997, “Amran menggagas Pertemuan Penyair Makassar I–III di selasar Rektorat Unhas, Kampus Tamalanrea. Pertemuan ini sebagai ‘perekat’ penyair makassar dan penyair kampus, terutama mahasiswa”, ungkap Mahrus Andies di Pelakita. Pertemuan selalu dihadiri penyair kondang seperti Husni Djamaluddin, Rahman Arge, dan Aspar Paturusi. Penyair senior kampus terlihat tampil seperti Eman-M.Anwar Ibrahim (alm), Fahmi Syariff (alm), Atja Razak Thaha. Ada juga Yudhistira Sukatanya, Ram Prapanca, Ani Dunda dan beberapa penyair muda Makassar.
MASYARAKAT SASTRA TAMALANREA : Medium Pembebasan
Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) lahir dari semangat intelektual yang mendalam. Ia bukan sekadar klub baca, melainkan ruang permenungan dan perlawanan kultural terhadap kemapanan. Di tengah suasana politik kampus yang dikekang oleh kebijakan NKK/BKK, para mahasiswa di MST mengguna-kan sastra sebagai medium pembebasan.
Tokoh-tokohnya antara lain : Muhary Wahyu Nurba, Sudirman HN, dan Aslan Abidin — memadukan bacaan sastra dengan teori kritis, dari Paulo Freire hingga Pramoedya Ananta Toer. Bagi mereka, puisi bukan sekadar keindahan; ia adalah alat berpikir, bahkan alat menggugat.
Diskusi-diskusi MST kerap berlangsung hingga senja, di bawah rindangnya flamboyan depan FISIP. Mereka membicarakan eksistensi manusia, keadilan sosial, dan makna kebebasan.
Sastra di tangan mereka menjadi bentuk “perlawanan halus” — cara untuk tetap berpikir di masa ketika berpikir terlalu keras bisa berbahaya. MST adalah sastra yang kontemplatif, tajam, dan reflektif. Mereka percaya bahwa perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kecil — dari kata-kata yang diucapkan dengan jujur.
KORIDOR – kumpulan Sajak Empat Penyair Tamalanrea setebal 135 halaman, tahun 1995 diterbitkan Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST).
KOSASTER: Panggung, Persahabatan, dan Puisi
Beberapa tahun setelah MST menancapkan akarnya, lahirlah generasi baru dengan semangat yang lebih terbuka dan performatif. Mereka menamakan diri KOSASTER — singkatan dari Komunitas Sastra dan Teater. Jika MST adalah ruang baca yang tenang, maka KOSASTER adalah panggung yang hidup.
Tokoh-tokoh seperti Shaifuddin Bahrum (alm), Syamsuddin Azis, Ami Ibrahim, Dasri Masud, Nawir, Alwi Majid, Nena Hasmar, Anisa Saleh, Jamila “Rimba” Anwar, dan Andi Isma menjadi jantung dari komunitas ini. Sederet pentolan lainnya : Fahmi Syariff (alm), Andi Wanua Tangke, Mustam Arif, Mas’ud Muhammadiah, Taufiq Bustama. Mereka ini dulu dipercaya sbg tim kritikus utk setiap pementasan teater di DKM. Jadi setelah pementasan malamnya, esoknya diadakanlah apresiasi atas pementasan itu. Di situlah KOSASTER tampil.
Mereka menulis, membaca, berdebat, dan memanggungkan karya-karya mereka dalam suasana penuh gairah.
KOSASTER memperlakukan sastra seperti festival kecil — ada puisi, tawa, nyanyian, dan perenungan. Puisi mereka kadang getir, kadang jenaka, tapi selalu punya nyala kemanusiaan.
Bagi mereka, sastra bukan milik ruang akademik, melainkan ruang hidup bersama.
Yang menarik, KOSASTER juga menghadirkan suara perempuan yang kuat. Penyair seperti Nena Hasmar, Anisa Saleh, Jamila “Rimba” Anwar, dan Andi Isma menulis tentang cinta, tubuh, dan identitas perempuan dengan keberanian yang jarang ada di masa itu.
Kehadiran mereka membuat KOSASTER tidak hanya hidup secara intelektual, tapi juga emosional dan empatik. S. Alam menilai KOSASTER menggelorakan semangat melawan Orde Bau melalui pentas teater, seperti Lysistrata (WS Rendra), Manusia-Manusia Perbatasan (Fahmy Syarif), Dalam Bayangan Tuhan (Arifin C. Noor) disutradarai Moch. Hasymi Ibrahim.
A.Wanua Tangke mengungkap bahwa pentolan Kosaster, selalu dilibatkan mengkritisi— mengapresiasi pentas teater diselenggarakan DKM.
BENGKEL SENI : Bengkel Kaum Merdeka
Dalam japrian S. Alam dikenalkan pula ‘Bengkel Teater’ , semula dari Sastra Indonesia lalu berkembang menjadi Bengkel Seni Fakultas Sastra, beranjak lagi menjadi Bengkel Seni Unhas. Pentolanya antara lain : Shaifuddin Bahrum dan Sutawijaya, Marhabang, dan Hidayat.
Sutawija mengurai serangkaian aktivitas Bengkel Seni di masanya :
Keheningan di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Hasanuddin pada awal 1990-an terasa seperti halaman yang kosong — gersang, berdebu, dan sesekali hanya dilewati angin dari Danau Tamalanrea. Gedung yang sejatinya menjadi pusat denyut kreativitas mahasiswa itu tampak seolah tertidur panjang, menunggu sesuatu yang sanggup membangunkannya.
Lalu, pada awal tahun 1990, keheningan itu tersentak. Sekelompok mahasiswa datang membawa ide sederhana tapi hangat: pameran kartu lebaran. Tak ada sponsor besar, tak ada dekorasi mewah, hanya deretan karya tangan mahasiswa yang memadukan imajinasi, puisi, dan warna. Namun justru di situlah letak pesonanya. Pameran itu, yang digelar di ruang seadanya, sempat menarik perhatian TVRI — sebuah kebanggaan kecil namun berarti besar bagi dunia mahasiswa saat itu. PKM pun kembali berdenyut.
Gelombang kreativitas yang sempat tertahan kini mengalir deras. Tak lama berselang, di koridor FIS IV, diadakan pameran lukisan “Trilogi Nawa-nawa.” Ruang itu bukan galeri, melainkan lorong kampus yang dingin dan panjang — dipilih karena biaya sewa tempat terlalu mahal. Tapi bagi mereka, justru di situlah esensinya: menghadirkan seni di ruang publik, membawa warna di antara dinding kuliah, dan menegaskan bahwa ekspresi tidak butuh izin kemewahan.
Suara musik kemudian menyusul. PKM yang tadinya hanya menampung gema langkah kaki, kini bergetar oleh dentuman gitar dan pukulan gong dari konser musik mahasiswa se-Makassar. Para musisi kampus, dari berbagai fakultas dan universitas, berkumpul untuk satu hal: menandai bahwa generasi muda tak hanya berpikir, tapi juga merasa — dan menyalurkan rasa itu lewat nada.
Tak berhenti di situ, lantai dua Rektorat Unhas pun menjadi saksi hadirnya pameran lukisan “Mademoiselle D. Syuga.” Kali ini kolaborasi antara seniman kampus dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni Rupa. Pameran ini memperlihatkan kematangan estetika mahasiswa yang mulai berani menafsirkan dunia dengan bahasa visualnya sendiri.
Dan dari ruang teater, lahirlah pementasan “Penggali Kubur.” Sebuah karya yang di pentaskan Bengkel Seni, bukan sekadar pertunjukan, tapi juga bentuk perlawanan halus terhadap beku dan mapannya kehidupan kampus di bawah bayang-bayang birokrasi Orde Baru. Dalam lakon itu, mahasiswa belajar menggali makna eksistensi — bukan hanya kubur dalam cerita, tapi juga “kubur” metaforis bagi ide-ide yang dikekang.
Di dunia sinetron, bengkel seni mendukung sinetron I Baso Mannangkasi yang disutradarai Shaifuddin Bahrum (alm).
Di antara pameran, pentas teater dan sinetron itu, PKM Unhas kembali hidup. Ruang-ruang sunyi yang dulu dilupakan kini menjadi saksi bangkitnya gelombang baru kesadaran seni dan budaya kampus. Tak lagi sekadar tempat rapat organisasi, PKM menjelma menjadi laboratorium kreatif di mana ide-ide segar tumbuh tanpa batas.
Itulah masa ketika mahasiswa tak hanya bicara politik atau perkuliahan, tetapi juga menyulam makna kehidupan lewat seni. Masa ketika lukisan di dinding, musik dari panggung, dan dialog di teater menjadi bahasa lain dari perjuangan — perjuangan nan sunyi, tapi mendalam.
SAJAK-SAJAK CINTA Aktivis Mahasiswa (1980-1990)
*Puisi Cinta dari Kampus Merah : Puisi Merindu, ulasan Yudhistira Sukatanya.
Di suatu masa muda bergolak, sekira tahun 1980 – 1990, sejumlah mahasiswa pernah aktif beriteraksi di koridor, di ruang senat, di kantin, di sekretariat skk. Identitas, di ruang-ruang kuliah, di selasar gedung bertingkat tanpa lift di Kampus Merah UNHAS yang berlogo ayam jantan itu. Macam-macam bisa jadi peristiwa biasa dan tak biasa di sana. Ada yang membuat majalah, koran, bulletin, main band, ada yang jadi pelapak, ada yang sekali-sekali saja datang, karena berbagai kepentingan. Juga ada yang aktif menuliskan syair dan membukukan karya mereka (mereka itu para aktivis yang ‘diakui’ sebagai penyair kampus).
Puisi adalah salah satu karya kreatif yang sejak bertahun lalu mereka gemari. Adalah jalan bagi mereka untuk mengungkapkan perasaan, renungannya dari waktu ke waktu. Tentang bagaimana cara menyampaikannya adalah wilayah kebebasan kreatif. Ada ungkapan cinta, rindu, marah, ada juga catatan perjalanan. Kesemua rangkuman tersebut adalah ekspresi emosi masing-masing dalam menyikapi lingkungan, sikap sosial dan lainnya.
Kenyataan ini adalah sisi lain dari dinamika kampus sebagai kawah candradimuka para pentolan mahasiswa. Tidak hanya menggodok dan mengokohkan diri mereka sebagai motor demonstrasi memperjuangan hak dan kepentingan kaum jelata, bangsa dan negara, tetapi sebagian dari mereka juga aktif menempa karakternya dalam kehalusan budi dan bahasa menuju kedewasaan lewat jalur sastra.
Bertahun kemudian.
Kini, jika ada yang yang bertanya; Apa yang dapat dilakukan oleh anggota Whatsapp Group para mantan aktivis penyair kampus masa lalu itu yang kembali berkumpul, kreativitas apa yang bisa mereka hadirkan? Jawabannya mungkin beragam. Tetapi salah satu yang nyata, buku ini buktinya. Amran Razak mampu memprovokasi mereka untuk menulis puisi lagi, menjadi penyair lagi. Para penulis yang karyanya terhimpun dalam antologi ini, berlatar belakang beragam profesi. Seperti dulu juga, boleh saja mempertanyakan apakah yang mereka sampaikan ini, sungguh puisi? Boleh setuju, boleh sebaliknya. Boleh memuji, boleh
mencaci. Tetapi sesungguhnya para penikmatnya perlu juga membuka pintu hati, membuka diri untuk membangun pemahaman dan apresiasi. Karya- karya yang terhimpun dalam buku ini dinyatakan sebagai ungkapan diri terkini masing-masing penulisnya. Melihat gaya penulisannya tentu ini adalah puisi.
Catatan dan renungan yang terungkapkan, tetap menegaskan kekhasan “penyair kampus” apa yang ada di dalam kenyataan juga diantara harapan. Ini sungguh mutiara-mutiara kata yang terpendam dan menyampaikan nilai tersendiri. Mengungkankan sikap, atas sekumpulan
ungkapan perasaan, pengalaman hidup, pergolakan pemikiran yang sudah diproses dalam tungku kontemplasi yang khusuk. Tentu kehadiran ini membuka cakrawala pandangan yang luas. Adalah kepastian, jika kata-kata mereka tentu tidak hanya kelembutan perasaan, kebijakan, tapi juga pisau yang tetap bisa mengupas warna-warni, gelap, terang sisi kehidupan.
Para pembacanya, tentu boleh berbahagia mendapatkan karya dalam tiga layer antologi yang dinamai “Tamalanrea”. Bahwa inilah rekaman selintas rekaman dokumentasi perjalanan kreatif yang belum lagi berhenti. Langkah penyair bernafas panjang dan kian menyingkapkan jati diri masing- masing dalam pengembaraan kepenyairan. Kali ini hadir Acram Mappaona Azis (Acram), Amran Razak, Andi Timo Pangerang, Andi Sri Wulandari, Ana Mustamin (AnaHaiku), Busman, Chairul Anam, Farida Pattinggi, Ilham Anwar, Kamaruddin Azis (Denun), Mahrus Andhies, Marwan Hussein (alm), Mohammad Hasymi Ibrahim (Ami), Yuyun-Yundhini Husni Djamaluddin, Rustiah Rasyid, Sudirman Numba, , S Alam, Sri Musdikawati, Sumarni Hamid Aly, Sutawijaya, Yudhistira Sukatanya, Sakka Pati. Di wag ini, hadir pula Moch.Yayath Pangerang, Andi Akhmar, Ahmad Musa (Uca) dan Asri Tadda. Pernah hadir lalu pamitan A. Arsunan Arsin dan Yachfaryati.
Lalu mengapa “Tamalanrea”?
Tamalanrea mempunyai dimensi dalam sejumlah layer. Tidak hanya penanda-setting lokasi namun bisa dimaknai sebagai tak pernah bosan, tak pernah putus asa, tak pernah lelah. Ya. Layer-layer yang menafasi dimensi jalinan komunikasi tak pernah henti, persahabatan tak lekang oleh waktu dan tentu semangat menulis puisi yang tak pernah padam.
Hingga kesempatan ini, bisa terbaca, bagaimana proses pematangan yang terus menerus terjadi tanpa henti. Meski ada diantaranya yang berkata ini hanya candaan kecil.
Dan waktu telah memberi kesempatan bagi mereka untuk lagi-lagi hadir dan mengalir. Tentu sebagai penyair.
Sekali penyair – Tetap Merdeka.
***
Waktu bergulir. Kampus Tamalanrea semakin besar, dan dunia berubah cepat.
Masuklah era digital: puisi kini hidup di layar, bukan di panggung; diskusi sastra berpindah ke grup daring, bukan lagi di bawah pohon flamboyan. Namun, semangat yang dulu menyalakan dari berbagai komunitas seni, MST dan KOSASTER serta BENGKEL SENI tetap terasa. Generasi baru mahasiswa Unhas kini menulis di medsos, blog, kanal YouTube, dan podcast sastra. Mereka membaca Sapardi dan Rendra, tapi juga mencipta gaya baru — spoken word, video puisi, dan esai reflektif digital.
Mediumnya berubah, tapi roh kebebasan tetap sama. Mereka masih menulis tentang kemiskinan, cinta, dan absurditas hidup di tengah algoritma. Sastra kampus kini lebih terbuka, lebih cepat bergaung, tapi juga menghadapi bahaya: kehilangan kedalaman. Karena itu, warisan berbagai komunitas seni, MST, KOSASTER, Bengkel Seni penting untuk diingat. Mereka mengajarkan bahwa sastra bukan soal popularitas, melainkan soal kejujuran dan kesadaran.
***
Generasi sastra berkecimping di Tamalanrea hari ini—mungkin tak akan pernah mengetik dengan mesin tik, tak akan pernah membaca puisi di taman dengan mikrofon rusak, tapi kalian punya hal yang sama dengan kami: kegelisahan.
Pelaku seni Tamalanrea di masa lalu menulis untuk melawan bisu, kalian menulis untuk melawan kebisingan. Mereka berdebat tentang Chairil dan Pramoedya, kalian mungkin berbicara tentang algoritma dan kebebasan digital. Namun esensinya tetap: menulis untuk memahami manusia.
Jangan berhenti membaca, menulis, dan berdiskusi.
Karena kampus tanpa sastra adalah kampus tanpa jiwa.
Dan Unhas, sejak lama, punya jiwa yang tumbuh dari kata-kata.
Jika suatu sore nanti, kalian membaca puisi di bawah flamboyan atau menulis esai di depan layar laptop di warkop sepanjang Tamalanrea — percayalah, kalian sedang melanjutkan api yang sama. Api yang dinyalakan oleh Perkemahan mahasiswa urakan, MST, KOSASTER dan Bengkel Seni, api yang menyala tenang di setiap generasi yang mencintai bahasa dan kebebasan.
Sejarah sastra kampus Baraya-Tamalanrea adalah sejarah tentang keberanian untuk berpikir, merasakan, dan menulis di luar batas. Sajak-sajak Malam perkemahan urakan mahasiswa menghentakkan panggung seni-komunal. MST memberi fondasi kesadaran, KOSASTER menyalakan ekspresi. Bengkel Seni menggeliat panggung pembebasan dan generasi digital hari ini membawa keduanya ke ruang yang lebih luas. ‘Aktivis-penyair’ 1980-1990 – merindu. Kampus boleh berubah, teknologi boleh datang dan pergi — tapi selama masih ada mahasiswa yang menulis karena gelisah, membaca karena cinta, dan berdiskusi karena ingin memahami dunia, tradisi sastra Tamalanrea tidak akan pernah mati.