Pers mahasiswa merupakan salah satu wujud dari kebebasan berekspresi, kebebasan akademik, serta semangat intelektual yang tumbuh di kalangan mahasiswa. Sejak masa awal pergerakan nasional hingga era kontemporer, pers mahasiswa hadir sebagai wadah untuk menyalurkan gagasan, menyuarakan kritik, dan membangun kesadaran kritis. Di dalamnya terkandung nilai idealisme yang khas: keberanian menegakkan kebenaran, berpihak pada kaum tertindas, serta menjaga independensi dari kepentingan pragmatis.
Keberadaan pers mahasiswa di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang. Pada masa kolonial, organisasi mahasiswa dan pemuda menggunakan media cetak sebagai alat perjuangan politik, pendidikan, dan penyadaran rakyat. Setelah kemerdekaan, pers mahasiswa menjadi salah satu pilar dalam dinamika kehidupan intelektual kampus. Peran itu semakin menonjol ketika terjadi ketegangan antara dunia kampus dengan kekuasaan negara, misalnya pada era Orde Baru, di mana kebebasan pers secara umum dibatasi, namun pers mahasiswa tetap berupaya hadir dengan gaya khasnya: kritis, alternatif, dan idealis.
Di era reformasi, ruang gerak pers mahasiswa semakin terbuka. Euforia demokrasi dan kebebasan pers memberi ruang baru untuk mengembangkan wacana kritis. Namun, terbukanya kebebasan ini juga menghadirkan tantangan baru: hilangnya konsistensi idealisme, masuknya kepentingan pragmatis politik praktis ke dalam tubuh organisasi mahasiswa, serta guncangan akibat derasnya arus digitalisasi dan media sosial. Di titik inilah, urgensi membicarakan kembali posisi pers mahasiswa sebagai penjaga idealisme menjadi sangat penting.
Pers mahasiswa tidak hanya berfungsi sebagai media internal kampus, melainkan juga sebagai bagian dari gerakan intelektual yang lebih luas. Kehadirannya mampu membentuk opini publik, mengedukasi mahasiswa, dan menantang struktur kekuasaan yang tidak adil. Dalam konteks ini, idealisme yang dibangun pers mahasiswa menjadi kekuatan moral sekaligus politik. Ia melampaui batasan kampus dan menyentuh ranah sosial, budaya, dan bahkan politik nasional.
Seiring perkembangan teknologi, pers mahasiswa kini menghadapi tantangan ganda. Di satu sisi, digitalisasi membuka akses lebih luas bagi mahasiswa untuk menyebarkan ide dan kritik. Di sisi lain, banjir informasi, disinformasi, dan budaya instan menguji keteguhan idealisme mahasiswa. Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan mendasar muncul: apakah pers mahasiswa masih mampu menjadi ruang yang kokoh untuk membangun idealisme di tengah derasnya arus pragmatisme dan hegemoni digital?
Sekelumit Jejak Pers Mahasiswa Unhas
Skk. Identitas. Salah satu tonggak penting adalah lahirnya surat kabar tabloid “Identitas, berdiri 16 Desember 1974. Semula bernama Duta Mahasiswa (Dumas). Pendirinya Syafri Guricci, Anwar Arifin, dan Fahmy Miyala. Nama Identitas dipilih untuk menegaskan misi membangun identitas intelektual mahasiswa Unhas yang kritis, independen, dan idealis. Meskipun, didalam perjalanannya lebih banyak nilai sebagai media rektorat. Lantaran hal ini, identitas ‘digolongkan’ sebagai pers kampus dikelola humas (bukan pers mahasiswa). Tidak heran, jika beberapa jebolan Identitas yang merasa tak tertampung suara idealismenya lalu mendirikan buletin pers mahasiswa.
Buletin BALANCE. Salah satu, penerbitan pers mahasiswa (stensilan) bertahan lama adalah buletin Balance (1978-1983). Kenakalan buletin Balance, membuat pengasuhnya tak jarang kena intrik penguasa, terutama karena kop buletin dibumbui anti NKK- anti Militerisasi.
Penyajian Balance polos – telanjang tapi berusaha dibungkus dengan penuturan ala majalah mingguan Tempo, bergaya literary journalism – jurnalistik sastra. Gaya jurnalistik baru ‘menggelitik’ Orde Baru. Pengelolanya pun tak sembarangan, redakturnya digilir menjadi pemimpin redaksi, pernah dijabat oleh A.Wahab Suneth, Ridwan M.Thaha, Abd. Hamid Paddu, Ridwan Effendy (alm), sampai Aidir Amin Daud dan Hamid Awaluddin. Desain sampul dan karikutur, dikelola Anwar Toha (alm) dan Kasman Abdullah (alm).
Buletin Balance jadi barometer ‘kemarahan’ mahasiswa seperti diungkap rektor Unhas legendaris Prof. Dr. A. Amiruddin, “jika mau tahu situasi mahasiswa, baca buletin Balance”.
Pada awal 1978 pemerintah kembali melakukan pembreidelan terhadap beberapa surat kabar umum ternama seperti Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pelita. Kekosongan sementera pers umum ini diisi oleh pers mahasiswa, dimana tiras pers mahasiswa mencapai puncaknya, sampai puluhan ribu eksamplar dan banyak dibaca orang luar kampus. Tapi pemerintah kemudian juga membreidel penerbitan mahasiswa ini, dan baru boleh terbit setelah enam bulan. Tapi belum genap setahun, Koran mahasiswa seperti Salemba – UI, Gelora Mahasiswa – UGM, dan Kampus – ITB kembali dilarang terbit, karena isi pemberita-annya yang dianggap tidak berubah.
Kongres IPMI
Dua tahun kemudian, diselenggarakan Kongres Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) ke V di Jakarta, bulan Mei 1980. Sebenarnya, Kongres IPMI ke V pada bulan April direncanakan di Ujung Pandang, karena alasan perizinan akhirnya Kongres dialihkan di Jakarta, padahal persiapan di Ujungpandang sudah mantap, ucap Zohra A.Baso (almh) sebagai Ketua Pelaksana. Salah satu pertimbangannya, karena baru terjadi rusuh massa – pengganyangan Cina (Toko LA) di Ujung Pandang. Pada Kongres ini ada dua pemikiran: 1) ingin tetap independensi IPMI dalam kondisi bagaimanapun. 2) ingin IPMI dalam pembinaan organisasi kepemudaan tingkat nasional [KNPI] dengan konsekuensinya IPMI berubah nama menjadi IPPMI (Ikatan Pers Pemuda dan Mahasiswa Indonesia). Dan akhirnya kongres memutuskan tetap independensinya dan tidak bergabung dengan KNPI. Meski belum menemukan solusi atas banyaknya pembreidelan. Kongres menetapkan Ketua Umum Wikrama Ilyas Abidin dan Agusman Efendi (sekjen) periode 1980-1982. Pertengahan tahun 1982 IPMI kian meredup dan dibekukan. Kepengurusan harusnya berakhir tahun 1982. Namun mengalami ketidakjelasan hingga kemudian perlahan organisasi mengalami kebekuan aktivitas. Kondisi ini tidak lepas dari pengaruh Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang intensif dilakukan sejak tahun 1978. Depdikbud tidak lagi mengakui lembaga intra di tingkat universitas, kecuali pada tingkat fakultas. Sedangkan di luar kampus hanya KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) yang diakui oleh pemerintah. Meski legalitas IPMI belum dicabut, kondisi ini juga berpengaruh terhadap kinerja IPMI. Praktis aktivitas penerbitan mahasiswa tidak banyak muncul.
Buletin Biara romoromo (1983 -1984) bermula lahir dari ‘saling ejek’ Rudi Harahap (alm) pengasuh ruang budaya suratkabar Harian Fajar di awal tahun 1980an. Rudi Harahap (alm) memakai istilah “biksu” penamaan dirinya dalam artikelnya di Harian Fajar. Terinspirasi dari kearifan Romo Mangunwijaya, segerombol aktivis pers mahasiswa di lorong 108 kemudian kediaman di lorong pencerahan itu sebagai “biara romoromo”. Dari lorong 108 – biara romoromo menerbitkan buletin perlawanan terhadap ‘kekakuan’ ritme Dewan Kesenian Makassar (DKM) saat itu. Dominasi penyair dan dramawan senior – para pesohor DKM, seakan tak memberi ruang bangkitnya generasi baru. Pengasuh buletin antara lain; Ridwan Effendy (alm), Roel Sanre (alm), Rahyuddin Nur Cegge, A.Yayath Pangerang (alm), Muh. David Aritanto. Distributor buletin biara romoromo : Ali Samad (alm).
Buletin Masapeka terbit 1984-1985. Menurut Tamzil Ibrahim, semula gagasan membuat buletin Masapeka sekedar wadah silaturahmi senior-yunior antar fakultas terutama asisten laboratorium, memuat berita-berita sekilas kampus, pikiran-pikiran sederhana penuh canda dari teman-teman, dan dinamika aspirasi mahasiswa. Mereka yang selalu berkumpul ‘ngopi bareng’ di warung paman di sebelah ruang perrtemuan Sanggar Andi Pangerang, kampus lama Baraya. Pada penerbitan kedua, sampul halaman depan buletin memuat gambar karikatur rupiah tergilas sepatu lars dengan dilengkapi gambar dollar yang berjaya. Karikatur tersebut melukiskan dominasi militer dalam pengaturan ekonomi bangsa, di-backing Amerika Serikat. Ternyata, gambar sampul tersebut mengusik ketenangan rektorat, pengasuhnya pun ditegur keras. Sepertinya ada desakan dari Kodam XIV Hasanuddin selaku Laksusda/ Pangkopkamtib, apalagi simbol militer sepatu lars. Penerbitan buletin Masapeka, edisi berikutnya tidak begitu lancar karena kesibukan pengasuhnya ‘melamar kerja’.
Tabloid Tamalanrea Post (TAPOS) diterbitkan oleh Senat Mahasiswa Univeristas Hasanuddin (SMUH) selama 2 periode 1991-1993 kala itu Ketua SMUH, A.Yaqkin Padjalangi, dan Aminuddin Syam. Tapos sempat bikin heboh lantaran headlinenya mengulas ‘anak presiden Soeharto” bertajuk “Ituttung Daeng Mangowa”, menyentil Mbak Tutut ?. Redpel kala itu A.W. Masry (Teknik) sempat terbit 3 edisi.
Terbit pertama dimasa kepemimpinan SMUH periode pertama, A. Yagkin Padjalangi. Pemrednya tertera nama A.Ilham Paulangi dan Asriful (FKM). Ketika A.W. Masry menggawangi Tapos, pemrednya Aco Aslam Yusuf (MIPA). Oplaq Tapos sempat terbit 3000 eksemplar, lantaran memuat habil UMPTN.
SMUH periode ini, malah sempat mendirikan Radio Diorama – Suara Mahasiswa yang menghadirkan Adnan Buyung Nasution, Hendardi, dan Teten Masduki untuk diwawancarai. Tercatat Alvian Mohammad (Sastra), Awaluddin (Kelautan), Tuti Isdayanti (MIPA), almh. Heryani Fachmi (MIPA), almh. Eha Sumantri (FKM), Tanra Alam (FKM).
Ada juga tabloid mahasiswa Libris, digawangi Pemred Alvian Mohammad. Libris, banyak menyoroti tradisi intelektualitas di kalangan mahasiswa. Terbit di masa Ketua SEMA Fak. Sastra, M. Nawir. Ini saya lupa berapa kali terbit. Namun edisi terakhirnya memblow up kalimat sarkastis di sampul belakangnya, “Bukan Alas Duduk”. Ironi sekaligus menggelitik daya tarik yg “lemah” mahasiswa pada kebiasaan membaca, japri A. W. Masry.
Tahun 1994 merupakan cikal-bakal bangkitnya pers mahasiswa Unhas dengan hadirnya komunike bursama. Kesepakatan dan persaksian nurani untuk melahirkan wadah penampung seluruh potensi jurnalistik di Unhas. kebutuhan akan hadirnya lembaga pers mahasiswa Unhas makin mereka rasakan. Apalagi ketika itu, rezim orde baru lagi “buas-buasnya” memperlakukan rakyat Indonesia. Konsep digodok mulai di tingkat Senat dan HMJ. Di antaranya yang sempat tercatat, majalah Agrovisi dari Senat Pertanian, majalah Baruga dari Komunikasi FISIP, majalah Nurani dari MPM, Channel 9 dari Teknik dan Skk. Identitas. Dari diskusi itu, disepakati membentuk tim 7 yang diketuai Muh. Syaiful Bahri. Tugas tim 7 melobi dan negosiasi petinggi Unhas untuk merestui niat tersebut, terdiri dari A. Ilham Paulangi (Sastra), Sapri Pamulu dan Amril Taufik Gobel (Teknik), alm. Arqam Azikin (FISIP), Nasrul Tanjung (Teknik), Herwin dan Syamsu Rijal (FISIP), Sukirman dan beberapa aktivis pers mahasiswa Unhas lainnya, tulis Dedy Ahmad Hermansyah di CAKA (edisi Skripsi 2)
Setelah ada kata sepakat, langkah selanjutnya diadakan pertemuan segi-tiga (PR III, Tim 7 dan para senior aktivis pers mahasiswa). Dari pertemuan segi-tiga emas itulah dilahirkan kesepakatan mendirikan unit kegiatan di tingkat Universitas bernama UKM Pers.
UKM Pers (UKMP) Mahasiswa Unhas, ternyata memiliki jaringan luas dan kuat antar pers mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Makassar dan Jawa. Jaringan pers mahasiswa ini, ikut mewarnai ritme pergerakan mahasiswa di kampus mereka. Pers mereka berisi perlawanan terhadap penguasa kampus, penguasa daerah dan rezim negeri ini. Sikap oposisi struktural dituangkan dalam tabloitnya Catatan Kaki (CAKA), bahkan sempat menjadi alternatif bacaan masyarakat umum karena isinya juga menyangkut isi pengaduan dan pembelaan terhadap kaum tertindas. Beberapa kali penerbitannya harus di di fotocopy untuk memenuhi permintaan masyarakat. Tabloid edisi pertama lapsus “Mahasiswa Berjuang dan Berjuang” menjadi salah satu rujukan peneliti nasional dan beberapa penulis buku tentang sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. CAKA sempat terbit belasan edisi. UKPM Unhas merupakan salah satu ‘lokomotif penting” pergerakan mahasiswa Unhas. UKPM dilantik 9 Februari 1995 (SK Rektor No. 1065/PT/04.H3/0/1995), mengalami pasang-surut dinamis berganti nama UKMM, UKPM, lalu UKPPM (Unit Kegiatan Pers dan Penyiaran Mahasiswa. Pentolannya antara lain : Nasrun Tanjung, Mohd. Isradi Zainal, Ostaf Al-Mustafa, Andi Wahyuddin Jalil, Akbar Endra, Maqbul Halim, Hasbi Lodang, Adi Ahsan Anwar, Suparno, Bahar Makutana.
Sekretariat UKPPM di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) meski sumpek dan sempit itu bercokol sejumlah demonstran. Tak heran jika muncul sejumlah perkumpulan pergerakan dari ‘rahim’ aktivis UKPPM. Di antaranya Aliansa Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD), FM ANAK (Forum Mahasiswa Anti Nepotisme dan Anti Kekerasan (FM ANAK), tahun 1997. Penggagasnya Ahdi Ahsan, Syawaluddin Arief dan A.S. Kambie.
***
Di era digitalisasi saat ini – tak lagi serumit media pers konvensional, batas antara produsen informasi dan konsumen informasi semakin kabur. Media sosial, platform blog, aplikasi berita, hingga forum daring memungkinkan setiap orang yang terhubung dengan internet untuk memproduksi, menyebarkan, dan mengomentari berita secara instan. Dengan kata lain, setiap netizen (warga internet) berpotensi menjadi jurnalis. Namun, tanggung jawab dan kemampuan literasi digital menjadi faktor penentu kualitas berita yang dihasilkan.