#Untuk Andi Akbar dan A. Alwy Mappiasse. serta para sahabat.
Kisah ihkwal aku menjadi Dosen Ekonomi Kesehatan FKM-Unhas, merupakan dosen dengan latar belakang ilmu ekonomi murni pertama di lingkup FKM se-Indonesia. Seorang dosen senior mempertanyakan kehadiran saya di lingkup FKM (yg semula bagian IKM Fak. Kedokteran Unhas). Covid-19 telah memperjelas kehadiran saya sejak 1985 di lingkup Public Health, Health Economics.
(Resensi buku ini oleh Amril F. Gobel telah dibaca hampir 7.000 kali)
***
Setelah ditolak jadi dosen Unhas 1984. Setahun kemudian, tepatnya bulan Agustus 1985, saat penerimaan dosen baru Unhas dimulai. Aku berpapasan Pak Nasry (Nur Nasry Noor), di laras dalam Kantor Pusat/Rektorat Unhas persis ke arah ruangannya. Waktu itu Pak Nasry sebagai Pembantu Rektor (PR) III bidang Kemahasiswaan dan Alumni.
Pak Nasry menyapaku. “Apa kamu bikin mondar-mandir di sini? dan cuma bercokol di Wisma HMI Botlem? Lebih baik kamu pergi mendaftar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)
di belakang.” Lanjut Pak Nasry membujukku.
Pak Nasry pentolan University of Hawaii, Master of Public Health (MPH) dan pendiri FKM-Unhas.
“Kita memang butuh sarjana-sarjana nonmedis termasuk sarjana ekonomi,” tandas Pak Nasry.
Aku disuruh menghadap Pembantu Dekan II FKM-Unhas untuk mendaftarkan diri sebagai calon dosen FKM Unhas.
Bagiku, FKM itu fakultas baru (apalagi memang baru didirikan), di mana seluruh dosennya dari Fakultas Kedokteran khususnya Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM), mereka umumnya
dosen senior.
Aku pun segera mencari tahu nama PD II FKM-Unhas yaitu dr. H.M. Alimin Umar, SKM (alm). Ketika masuk ke kantor FKM-Unhas, PD II FKM-Unhas sedang ke luar. Aku kemudian diarahkan menghadap Dekan FKM-Unhas, dr. Sirajuddin Beku, SKM (alm).
Aku memperkenalkan diri pada Dekan FKM yang menerimaku saat itu. “Saya sudah kenal kamu. Di luar, Anda adalah “singa kampus”, tapi di sini Anda adalah anak singa,” sambut Dekan FKM itu. Aku tak begitu tersentak mendengar hal itu, karena aku sudah terlatih di Laksusda/PangKopkamtib menghadapi teror mental semacam itu. Malah diriku merasa menghadapi seorang lelaki, meski lelaki itu melihat diriku sebagai lelaki yang beranjak dewasa. Permulaan yang baik, pikirku.
Sesuai menghadap Dekan FKM-Unhas, aku pergi mengambil formulir pendaftaran calon dosen di Bagian Kepegawaian Rektorat Unhas.
Ada kerisauan yang sedikit mengganggu perasaanku. Kudengar Ridwan Thaha juga mendaftar di FKM-Unhas. Aku khawatir, kejadian tahun lalu akan terulang, menimpa kembali kami
berdua. Ditolak lagi!!!
Beberapa hari kemudian ujian calon dosen Unhas dilaksanakan di Aula Fakultas Kedokteran.
Sebulan kemudian, hasil tes calon dosen sudah diketahui, siapa-siapa yang lolos tes. Aku sendiri tidak tahu, seandainya dokter Alwy Mappiasse tak menemuiku.
Alwy berkata penuh cemas, “Sebenarnya berat menyampaikan kabar ini tetapi sebagai sahabat, saya harus menyampaikannya.”
“Namamu tidak tercantum dalam stensilan undangan melengkapi berkas dari 97 orang,” lanjut Alwy dengan wajah lesu berbalut sedih. Alwy pun menganjurkan untuk bergerilya secepatnya,
mencari jawaban lain dari kemelut ini. Malam itu, aku tidur di rumah Alwy di Jalan Pa’jenekang.
Kami berdiskusi hingga subuh, apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya? Siapa yang harus dihubungi dalam situasi tak pasti ini?
Seusai shalat Subuh dan berdoa cukup panjang dan khusyuk’, Aku berusaha menguatkan diri untuk melakoni langkah-langkah yang harus kulakukan.
Langkah pertama; aku lakoni yaitu mengunjungi rumah Pak Nasry di Jalan Gunung Bulusaraung, tidak jauh dari rumah Alwy.
Pagi itu aku bergegas berjalan ke arah barat menelusuri Jalan Gunung Bulusaraung searah Lapangan Karebosi.
Pak Nasry ternyata baru saja pulang berolahraga pagi dari Karebosi, dia sedang membersihkan mobil jip Toyota warna coklat kesayangannya.
Perlahan aku menghampirinya, menyapa dan menyampaikan bahwa namaku tidak tercantum dari sekitar 97 orang yang diminta melengkapi berkas.
Pak Nasry segera menghentikan membersihkan mobilnya.
Sepintas terlihat keringatnya yang mengucur seusai olahraga dan membersihkan mobilnya kini bertambah karena mendengar penuturanku.
”Kenapa bisa begitu?” Sambut Pak Nasry dengan kening sedikit berkerut tak percaya, sembari mempersilakanku duduk pada kursi di beranda rumahnya.
Pak Nasry tak bisa menyembunyikan rasa kesal lalu bekata:
“Inilah saatnya kau demo, membela hakmu,” ujarnya terlihat ketus.
Setelah menikmati secangkir kopi panas dan mengadukan nasib pada Pak Nasry, Aku pun pamit. Pak Nasry memintaku agar tetap bersabar dan berdoa. Ia berjanji akan memberikan perhatian khusus dan memperjuangkannya.
Langkah kedua, menemui Prof. Halide. Aku menuju kompleks dosen Fakultas Ekonomi di Jalan Kandea, lalu menemui Prof. Halide. Aku diterima di ruang tamu Prof. Halide.
Aku memulai percakapan menjelaskan bahwa diriku tidak lolos lagi sebagai calon dosen FKM-Unhas, padahal menurut Prof. Halide hasil ujianku cukup baik.
“Kenapa bisa?” Tanggap Prof. Halide.
Prof. Halide pun mengatakan: “Saya sudah menyampaikan ke Pak Rektor bahwa saya bimbing khusus kamu untuk mendalami dan mengajar Ekonomi Kesehatan (health economics) karena itu ilmu baru yang lebih spesifik dalam bidang ilmu ekonomi.”
Setelah mendengarkan penjelasan, Prof. Halide yang menganjurkan aku sebaiknya langsung menghadap Rektor. “Kalau begitu sisa Rektor yang bisa menolongmu. Kau ke sana saja menghadap
dan menjelaskan keinginanmu yang sesungguhnya kenapa mau jadi dosen. Nanti saya telepon beliau.” Ujar Prof. Halide sambil meminta diriku sabar dan berdoa.
Harapan mendapatkan dukungan Prof. Halide untuk memproteksi diriku, cukup tinggi. Prof. Halide kunilai memiliki integritas tinggi dan punya kedekatan sohiban dengan Rektor Unhas,
Prof. Fachrudin. Aku pernah mendengar kalau mereka itu “empat serangkai” termasuk Prof. Rahman Rahim, Nur Abdul Rahman.
Semasa kecil ngaji bersama di sekitar Jalan Muhammadiyah, Makassar. Tetapi yang pasti, mereka berempat adalah elite HMI di masanya, kuharap keampuhan “hijau-hitam” terjelma.
Langkah ketiga; segera kulaksanakan anjuran Prof. Halide menemui Rektor Unhas di kediamannya Jalan Kartini, sore hari.
Ketika tiba di rumah jabatan, Pak Rektor belum kembali. Aku menunggu hingga malam hari. Malamnya, Rektor Unhas Prof. Fachrudin (alm) menerima kedatanganku di taman halaman belakang rumah rektor, dalam suasana yang cukup santai.
Aku kembali menjelaskan persoalanku bahwa namaku tidak tercantum dalam panggilan untuk melengkapi berkas calon dosen muda.
Rektor Fachrudin mencoba membimbing dan mengarahkanku, memberi penjelasan yang cukup gamblang mengenai visi dan misi Unhas ke depan, kebijakan-kebijakan yang akan dia
tempuh dalam masa kepemimpinannya. Fachrudin berharap aku bisa membantunya kelak.
Setelah bercakap cukup lama, rektor pun mengatakan akan menanyakan masalah diriku ke Bagian Kepegawaian, besok pagi di kampus. Aku pun pamit.
Meskipun sudah ada sedikit kepastian yang melegakan, rasa cemas masih terus menggelayuti hati dan pikiranku. Aku melangkah sedikit tegar meninggalkan kediaman Rektor Unhas, malam itu.
Angin malam yang berhembus dari arah Lapangan Karebosi terasa menembus kemeja tipis di badanku. Di sisi barat Lapangan Karebosi, di depan Gereja Katedral Hati Kudus Yesus, terlihat
banci-banci full solek terpantul gemerlap malam, mulai berdatangan menerobos remang Karebosi.
Aku kembali ke lorongku, dengan hati yang sedikit lega.
“Mungkinkah, esok masih ada?”
Besoknya, Prof. Fachruddin mengetahui kalau hasil wawancaraku dari tim Fak. Ekonomi terdiri atas PD I dan PD II tidak disertakan dalam kelengkapan hasil tes dosen baru Unhas 1985.
Rektor Unhas Prof. Fachruddin meminta diriku untuk segera menghubungi Dekan Fak.Ekonomi, Dr. Kustiah Kristanto, dan PR I Bidang Akademik, Prof. Basri Hasanuddin, Ph.D., M.A.
Meskipun aku melamar jadi dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), namun tes wawancara diriku diikutkan di Fakultas Ekonomi karena aku Sarjana Ekonomi. Aku sempat berpikir, “Dengan melamar di FKM, maka aku tak lagi berurusan dengan fakultasku.” Kenyataan berkata lain, aku harus menjalani penghindaran yang mencemaskan itu.
Aku pun segera menghadap ke Dekan FE Unhas Dr. Kustiah Kristanto, ternyata pada saat yang sama ada Rapat Senat Unhas di rektorat. Cukup lama aku menunggu Bu Kustiah karena Rapat Senat berjalan alot, hingga jelang siang hari.
Akhirnya, aku dapat menghadap Bu Dekan FE Unhas itu. Lebih dari sejam aku mendapat pencerahan, mulai dari keraguan banyak orang terhadap tabiat dirinya yang suka demo akan ditularkan dalam kelas bila jadi dosen. Begitu pula terhadap gaya hidupku yang terkadang urakan, proletar.
Perasaanku terenyuh ketika Bu Kustiah menanyakan banyak hal tentang diri dan keluargaku. Kuceritakan bahwa aku bukanlah anak perantau tetapi anak dirantaukan, orangtuaku pegawai
Bea Cukai di Ternate sejak 1971. Sejak masuk SMA Negeri 1Makassar, aku dititipkan di rumah Datokku, Ince Ibrahim, di Jalan Arief Rate. Setelah naik kelas 2 IPA di SMAN 1 Makasar,
aku putuskan menyusul orangtuaku di Ternate hingga tamat SMA di sana. Setamat SMA di Ternate, aku masuk Fakultas Ekonomi Unhas tahun 1976. Aku membangun diriku sendiri dalam kehidupan keras dan seronok di suatu lorong kambing, Baraya, Makassar.
Ibu Kustiah, sangat dikagumi dan disegani mahasiswanya. Ibu Kustiah tidak hanya pintar dan cantik, tapi penuh perhatian dan keibuan. Beliau terkadang heran, kenapa aku sepertinya selalu berusaha menjauhi dirinya.
“Saya perhatikan kamu seakan menghindari diri saya,” tanya ibu Kustiah.
Kujawab dengan nada rendah. “Maaf Bu, saya tidak setegar teman-teman yang lain, biasa dekat dengan Ibu.”
“Saya lebih berani mendekati dosen senior lainnya,” lanjutku.
Bu Kustiah juga menasihatinya agar dapat mengubah kebiasaanku.
“Kalau berbicara dengan orang lain jangan suka menunduk, tataplah lawan bicaramu,” pinta Bu Kustiah.
Salah satu kebiasaanku terutama kalau berhadapan dengan pejabat, sering menundukkan kepala. Alasannya, aku tak mau melihat ekspresi kompromi dari setiap tuntutan yang kuajukan pada pejabat bersangkutan. Meskipun dalam hatiku menerima nasihat Bu Kustiah, kebiasaan itu harus dipoles supaya tampil sedikit meyakinkan.
Aku banyak dibekali Bu Kustiah tentang kepribadian dan integritas, bagaimana kelak jadi dosen yang baik, berkarier, dan berprestasi.
Pertemuanku dengan Bu Kustiah bagai menerima energibaru dari kasih sayang seorang ibu. Kami pun sepakat menjadi anak dan ibu “ideologis”. Aku sebagai anak, memiliki kewajiban menyampaikan apa pun masalahku pada Bunda Kustiah. Sebaliknya, Bunda Kustiah sebagai ibu berjanji akan selalu melindungi diriku sebagai anak ideologisnya. Rasa haru dan lega mewarnai kehidupan diriku, kini memiliki rumpun keluarga yang baru.
Langkah berikut, menghadap Prof. Basri Hasanuddin. Selama ini, setiap ingin menghadap Prof. Basri, aku harus mempersiapkan diri, fisik dan mental. Hal ini, bukan cuma berlaku pada diriku saja yang memang “nakal dan liar”, tapi hampir semua mahasiswa dan dosen muda akan merasakan hal yang sama. Kharisma intelektual yang terjaga dari pribadi Prof. Basri menyebabkan tak gampang menghadap padanya.
Secara akademis, Prof. Basri memiliki hubungan intelektual yang unik dengan diriku. Bermula ketika banyak mahasiswa tak berani memilih Prof. Basri sebagai pembimbing skripsinya, aku justru memilih Prof. Basri. Rada nekat, karena aku sebenarnya tak memenuhi persyaratan standar, nilai mata kuliah Ekonomi Internasional-ku kurang memuaskan, biasanya anak bimbingan Prof. Basri memiliki nilai A.
Bukan hanya itu, ada semacam kelaziman bagi mahasiswa tingkat skripsi, terkadang mahasiswa sudah menyiapkan judul-judul skripsinya untuk diajukan ke pembimbing, agar memudahkan
mahasiswa tersebut.
Aku merasa malu dan gengsi bila mengandalkan kebiasaan semacam itu. Begitulah kisahku, ketika menghadap dan meminta kesediaan Prof. Basri sebagai pembimbing satu. Ia sempat menanyakan
judul skripsiku sendiri. Kujawab dengan sedikit malu:
“Belum ada judul, Prof.”
“Terserah Prof.” Lanjutku pasrah.
Prof. Basri kemudian berdiri menuju ke ruang perpustakaannya tak jauh dari ruang tamunya, mengambil sebuah buku tebal.
Aku pun ditawari buku itu, mengambil judul dari rumus-rumus ekonometrika, model seorang penerima hadiah Nobel ekonomi tahun 1971 bernama Simon Kuznets. Kuznets terkenal dengan model pertumbuhan ekonomi modern.
Prof. Basri memberikan buku karangan Simon Kuznets tersebut, lalu aku fotokopi terutama bab khusus uraian rumus-rumus ekonometrika yang rumit. Semula aku sempat gusar, tapi tak kehabisan akal. Aku menghubungi senior-seniorku, Madjid Sallatu, Tajuddin Parenta, Taslim Arifin yang juga dosen muda
di Fakultas Ekonomi Unhas. Mereka belum lama menyelesaikan
studi di Filipina, beberapa di antaranya alumni School of Economics, University of Philipina (UP). Pikiranku saat itu, tentu para seniorku itu pernah mempelajari model tersebut. Ternyata
rumus-rumus Simon Kuznet tersebut tak pernah dibahas secara khusus dalam kelas di Kampus Los Banyos, meskipun dua seniorku, Madjid dan Tajuddin sempat membantu menguraikannya.
Skripsiku berjudul “Industrialisasi dan Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia (1973-1984)” pun kuajukan. Pembimbing skripsiku: Prof. Basri Hasanuddin, M.A., Ph.D. selaku pembimbing
satu dan Prof. Dr. Sam F. Poli selaku pembimbing dua.
Keren, mahasiswa S-1 “nakal – kepala angin” tapi pembimbingnya profesor.
Saat-saat akhir penulisan skripsiku, ternyata ada hambatan menghadang, pembimbing duaku dilantik jadi Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar RI, Australia. Aku menghadapi kesulitan baru, karena harus konsul akhir skripsiku dengan Prof. Sam F. Poli. Alhamdulillah, sebelum Prof. Sam berangkat ke Australia, masih sempat mengoreksi dan mengesahkan skripsiku.
Naskah skripsi itu diantarkan khusus oleh Prof. Halide ke Jakarta, agar bisa dikoreksi dan disahkan Prof. Sam F. Poli di ibukota negara.
Skripsiku pun selesai. Aku lulus ujian skripsi dengan meraih nilai tertinggi “sangat memuaskan” (A). Kala itu, ujian skripsi masih sakral, menarik ditonton dan disimak. Apalagi bila yang ujian tokoh mahasiswa dengan judul skripsi yang menarik, dijamin bakal semarak.
Di sisi lain, bahan-bahan skripsiku menjadi hal yang paradox bagiku, bahkan menjadi sumber “musibah” di kemudian hari. Konon salah satu penyebab utama mengapa aku ditolak jadi dosen di Fakultas Ekonomi tahun sebelumnya, tahun 1984 karena menggunakan data-data skripsi tersebut berpolemik dengan seorang dosen senior di fakultasku.
Skripsiku yang membahas tentang perubahan struktur ekonomi Indonesia.
Ujian skripsiku: “Industrialisasi dan Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia (1973 – 1984)”
nomi Indonesia kugunakan berpolemik panjang di surat kabar kampus (skk ) Identitas Unhas dengan salah seorang dosenku yang sedang menyelesaikan disertasinya di bawah promotor Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Polemik kami tentang perubahan struktur ekonomi di Indonesia, mengamati pola kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru melalui tahapan-tahapan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Polemik itu dianggap tidak lazim, tidak etis, “melawan” dosen sendiri, bahkan dinilai nyaris
mendekati “murtad”.
Dikisahkan dalam sejarah para pemikir besar ilmu ekonomi di dunia, bagaimana seorang murid yang menemukan teori ekonomi yang lebih baik dari gurunya, tetapi sang murid memilih membela teori gurunya hingga akhir hayatnya.
Aku mungkin dinilai kurang memiliki rasa hormat sepertiitu. Saat itu, pikiranku sederhana saja; menilai diriku tidak melanggar etika apa pun, karena di Fakultas Ekonomi Unhas tidak menganut hanya satu mazhab tertentu yang harus dipertahankan dan dibela. Itulah alasanku mengapa aku merasa tak melakukan pengingkaran atas mazhab tertentu.
***
Di suatu sore setelah ketemu Bu Kustiah, aku mendatangi kediaman Prof. Basri di kompleks dosen Fakultas Ekonomi jalan Kandea, Baraya yang tak jauh dari rumahku. Ternyata, Prof. Basri lagi istirahat. Kata Bu Basri, lagi sakit gigi.
“Besok saja di kantor (Rektorat Unhas),” lanjutnya.
Bu Basri sempat menanyakan mengapa aku berkeras mau jadi dosen?
Seketika terbersit dalam hatiku, ini kesempatan baik untuk menjelaskan ke Bu Basri, apalagi aku tahu pasti, Bu Basri juga orang Maros.
Kujelaskan dengan sungguh-sungguh ke Bu Basri, “Di kalangan keluargaku di Maros kebanyakan pedagang ikan, kayaknya belum ada seorang pun jadi dosen.”
Bu Basri tampak tersenyum, lalu mengingatkanku kembali, kalau besok bertemu Prof. Basri di Rektorat Unhas.
Besoknya, aku menghadap Prof. Basri di Kantor Pusat Unhas. Prof. Basri menanyakan apakah aku sudah menghadap Dekan Fakultas Ekonomi Unhas. “Sudah Prof.” Jawabku.
“Jadi sudah siap jadi dosen yang baik?” Lanjut Prof. Basri.
“Siap Prof.” Jawabku mulai merasa segar, meniti kepastian.
Prof. Basri lalu memanggil Kepala Bagian Kepegawaian Unhas, Rivai Muslang. Selanjutnya, aku diminta mengikuti Kabag. Kepegawaian mengambil berkas isian calon dosen baru Unhas.
Kini makin jelas rasanya kepastian menemaniku, aku diterima.
Esoknya aku kembali bergegas menghadap Rektor Unhas, Prof. Fachrudin. Aku bermaksud segera menyampaikan pada Rektor Unhas bahwa aku sudah menghadap Dekan Fak.Ekonomi Unhas, Ibu Dr. Kustiah Kristanto, dan Pembantu Rektor I Bidang Akademik Unhas, Prof. Basri Hasanuddin. Dalam
benakku saat itu, masalahku sudah clear.
Usai menghadap Rektor Unhas, ternyata urusanku belum selesai.
Konon Rektor Unhas merasa “terbebani”, karena masih harus memberi “bukti fisik”—semacam jaminan atau garansi—pada para pihak yang masih meragukan penerimaan diriku sebagai dosen baru Unhas.
Ringkasnya, aku diminta membuat semacam pernyataan di atas kertas segel bermeterai. Isi kertas segel sebutlah semacam “surat taubat”.
Mulanya aku diliputi rasa gelisah. Rektor pun melihat gelagat diriku itu, sambil tersenyum kecil, Rektor berkata: “Tak usah gelisah, temanmu tahun yang lalu juga membuatnya.”
Seketika aku tersenyum gusar mendengar pernyataan rektor tersebut.
Semula aku sedikit pusing, kata-kata apa saja yang harus ditulis agar tidak melukai idealisme perjuangan.
“Apa yach, isi pernyataannya?” Tanyaku pada diriku sendiri.
Setelah dua hari menunggu, gundah memikirkan serangkaian kata yang pas mengisi pernyataan itu, di suatu pagi cerah saat duduk di salah satu kursi ruangan Humas Unhas yang juga sebagai ruang redaksi surat kabar kampus (skk ) Identitas, kutemukan ide, apa yang harus ditulis di atas kertas segel yang kubawa ke mana-mana.
Aku menyalin kembali nyaris copas 5 butir “pernyataan kesetiaan” sebagai calon pegawai negeri di lembar berkas isian Calon Pengawai Negeri Sipil (CPNS).
“Bismillah. Aman!!!” Pikirku sedikit lega.
***
Di suatu kesempatan, Rektor Unhas Prof. Fachrudin mengatakan bahwa dirinya sudah menyampaikan kepada Panglima Kodam VII Wirabuana, Mayjen. Nana Narundana selaku Laksusda/Pangkopkamtib, bahwa dia akan menerima beberapa mantan aktivis pergerakan mahasiswa jadi dosen. Prof. Fachrudin
mengatakan pada Pangdam XIV Hasanuddin, “Mereka sebenarnya kelebihan energi, masih muda, makanya saya akan membina mereka untuk mengembangkan SDM Unhas ke depan.”
Akhirnya, aku diangkat jadi CPNS setelah melewati beberapa kali ujian, berbagai jenis tes dan wawancara, membuat surat “taubat” di atas kertas segel, selama dua tahun seleksi penerimaan
dosen Unhas.
Alhamdulillah. Aku pun berucap syukur ke hadirat-Nya. “Jika Allah menghendaki, tak ada sesuatu kekuatan yang dapat menolakNya.”
_________________________________________
SUMBER : Demonstran Dari Lorong Kambing, Kaki Langit Kencana, Prenada Group, Jakarta, 2015 halaman 272 – 284.