Jakarta adalah impian bagi banyak aktivis-fungsionaris mahasiswa di daerah untuk dikunjungi. Jakarta menjanjikan banyak hal yang menarik, bisa bertemu kakak-kakak alumni yang sudah hebat misalnya Menteri, anggota DPR RI atau tokoh organisasi politik-agama dan LSM.
Kala itu, mendatangi Jakarta sebagai ibu negeri Indonesia masih merupakan komoditas mewah dan menggiurkan. Niat dan impianku, bahwa suatu saat – dalam waktu tak begitu lama – diriku akan menginjakkan kaki di tugu Monas tanpa bantuan dana dari orang tuaku.
Seiring waktu berlalu, menjelang pertengahan tahun 1978, Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia Timur (Badko HMI Intim) periode ketua A.Syahrir Makkuradde mengadakan sayembara menulis. Pemenang sayembara akan diikutkan dalam Pendidikan Pers Mahasiswa Islam di Jakarta.
Akupun ikut sayembara.
Ternyata pemenang sayembara ada dua orang yaitu aku dan Ambas Syam. Menurut A.Syahrir Makkuradde (kala itu sebagai ketua tim juri), nilai kami berdua sama sehingga ada kesulitan untuk menentukan siapa yang akan dikirim ke Jakarta.
Tiket Pengurus Besar HMI (PB HMI) ke Jakarta hanya untuk satu orang. Akhirnya, Syahrir Makkuradde dengan berat hati mengambil keputusan, Syahrir memilih diriku sebagai utusan Badko HMI Intim.
Pertimbangan tunggal Syahrir saat itu, Ambas Syam sudah sering ke Jakarta. Akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di tanah Batavia, kota Jakarta – welcome to Jakarta.
Pendidikan Pers Mahasiswa Islam yang diselenggarakan oleh PB HMI berasal dari berbagai wilayah Badko HMI ditambah peserta dari Jakarta sendiri.
Pematerinya keren-keren dan instrukturnya dari majalah Tempo. Pematerinya antar lain Salim Said (Tempo), Jacob Oetama (Kompas) dan Rosihan Anwar.
Salim Said tahu kalau diriku dari Makassar.
Salim sendiri lahir di Amparita (Kab. Sidrap) dan menikmati remajanya (SMP) di Kota Parepare.
Seusai memberi ceramah – Salim Said pun memanggilku.
Aku diminta menemui Salim di kantornya, bila seluruh rangkaian pelatihan pers ini selesai.
Kantor Salim Said, di redaksi majalah Tempo bilangan Pasar Senen.
Ketika pelatihan usai, …. aku menemui Salim Said di Tempo.
Ternyata aku diajak bertemu Jusril Jalinus (koordinator reportase majalah Tempo).
Saat itu, majalah Tempo merupakan majalah terkemuka dan terlaris di Indonesia. Rupanya mereka meminta aku belajar menjadi reporter muda majalah Tempo di Makassar.
Tiba-tiba diriku merasa miris membayangkan bagaimana menghadapi kedua seniorku – Ecip S. Sinansari (dosen Komunikasi Fisip Unhas) dan Syahrir Makkuradde (humas Unhas).
Orang Tempo menilai, Ecip terlalu sibuk dan Syahrir kurang produktif.
Jusril pun meminta aku berpikir-pikir dan memulai mengirim berita setiba di Makassar.
Kesempatan ini tak mampu kuraih, aku tak ingin menyakiti hati kedua seniorku.
Berita mengenai pertemuan diriku dengan Salim Said dan Jusril Jalinus, sampai sekarang tak pernah kuceriterakan pada siapa pun.
Meskipun aku ‘pulang’ sebagai peserta terbaik bersama Azyumardi Arza, dan kohati dari Surabaya (anak pemred koran terkenal).
Kunjungan peserta diklat pers mahasiswa Islam ke redaksi harian Berita Buana, juni 1978.
____________________________________________
SUMBER : Demonstran Dari Lorong Kambing (DDLK), kakilangit kencana, pranada media gorup, Jakarta, 2015, hal. 63-65. Foto Salim Said : Viva.co,id