RESENSI BUKU
Judul : 98-99 (catatan kemahasiswaan seorang
Pembantu Rektor)
Penulis ; Amran Razak
Penerbit : Pustaka Pranala, Rajawinangun Kotagede,
Yogyakarta.
Halaman : 213 halaman.
Ukuran : 13 cm x 19 cm
Cetakan : Pertama, Mei 2018
Sub bahasan : terdiri 8 bagian
ISBN : 978-602-51786-6-5
Peresensi : Saifuddin al MughniyDimuat : Harian Fajar Minggu, 8 Juli 2018
SATU catatan pendek mengenai buku 98-99 bukan sekedar cerita perjalanan sejarah baik bagi penulisnya maupun pembacanya. Penulisnya adalah sosok yang bersahaja, pernah menjabat sebagai Pembantu Rektor III di bidang Kemahasiswaan di Universitas Hasanuddin, dedikasinya sebagai seorang akademisi melekat pada segenap aktivitas kemahasiswaan yang dibangunnya. Tak pelak dari sebuah situasi dimana pelahiran sejarah turut mengayuhnya kedalam ritme gerakan mahasiswa yang demikian massif dengan hadirnya SOLID bagi aktivis mahasiswa Unhas dikala itu. Buku ini tak bukan hanya bercerita sepanjang gerakan, tetapi penghargaan terhadap hadirnya buku ini juga terdedikasikan juga kepada para tokoh yang hadir memberi sumbangsih dalam sebuah gerakan mahasiswa.
Pada bagian pertama buku ini, telah menyentakkan nurani kita dengan adanya Prahara mei 1998 adalah satu babakan sejarah bagi bergerak dan munculnya berbagai elemen gerakan mahasiswa seperti SOLID di Unhas yang menjadi barometer meluapnya emosi sosial bagi gerakan mahasiswa yang lainnya. Spirit lapangan Tiananmen yang disebut turut memberi andil yang cukup besar terhadap arus gerakan mahasiswa hingga pendudukan bandara. Aksi ini tentu menjadi heroik dan menjadi berita nasional dan dunia, bahwa gerakan mahasiswa adalah tak sekedar keberanian belaka tetapi lebih pada sebuah konsensus politik nasional ketika negara dilanda krisis moneter hingga pada pembicaraan tentang suksesi kepemimpinan nasional. Sebuah suasana yang tercipta mungkin bisa dibilang sangat “mencekam”, sehingga muncullah nada Esok : hidup atau mati ?.diksi tersebut memberi isyarat bagi kita bahwa sebuah perjuangan butuh pengorbanan, hidup atau mati adalah konsekuensi dari perjuangan itu sendiri. Dan inilah yang merembes pada aksi mahasiswa SOLID Unhas untuk menuntut sebuah perubahan.
Pada bagian kedua dalam buku ini, sebuah kisah yang heroik yang belum pernah sebelumnya dalam agenda gerakan mahasiswa adanya sebuah gerakan pendudukan bandara, tepatnya tanggal 13 November 1998, aksi mahasiswa SOLID Unhas berhasil menduduki bandara Sultan Hasanuddin di Mandai. Aksi ini mengundang perhatian dunia, bahwa Indonesia memeiliki kekuatan civil society dengan asupan kekuatan akademik yang mumpuni. Pendudukan bandara, bukanlah kisah (story) atau sebuah catatan sejarah (history) namun disana ada kesaksian beberapa aktifis seperti Canny Watae, Agus Amri, Lulu, Boge, Aryanto KW, dan Syarkawi Rauf dan beberapa orang lainnya yang secara langsung terlibat dalam aksi gerakan ini. Penyaksian ini adalah (story) yakni kisah yang penuh kejujuran dan dedikasi didalam menjaga marwah almamater dan gerakan mahasiswa.
Dan gerakan ini turut memberi andil terhadap lahirnya Forum Rektor Indonesia (FRI) pada tanggal 7 november 1998 di Ganesha Bandung. Kelahiran FRI adalah begitu momentum, sebab FRI bukan sekedar ajang paguyuban ratusan pimpinan PTN/PTS saat itu, tetapi ada agenda perjuangan bersama mahasiswa demi kemajuan demokrasi di Indonesia. Walau saat ini Forum Rektor seakan melakukan pengingkaran sejarah dengan matinya perjuangan Forum Rektor untuk negeri ini. Buku 98-99, adalah bisa dibilang sebagai bentuk “penyaksian sejarah” baik untuk penulisnya maupun para pelaku yang ada di dalamnya. Budayawan Alwy Rahman menyebutnya sebagai “Eventual” sesuatu yang terjadi hanya sekali dan tidak berulang-ulang, bahkan bisa dibilang bahwa karya ini adalah “moment of truth” yakni kebenaran momentum. Amran Razak, sebagai penulis, sekaligus perekam jejak sejarah, penjaga mahasiswanya dengan bijak dengan nada yang terselip dalam buku ini “tembak dulu diriku, baru kalian bisa menggilas mahasiswaku” dengan kancing baju berhamburan di apron bandara demi melakukan pembelaan terhadap mahasiswa.
Sebagai karya eventual, maka buku ini layak menjadi catatan ingatan sekaligus menjadi referensi bagi keberlangsungan generasi mendatang. Tak mudah mengingat, sebab hanya pelaku yang dapat mengingatnya. Penulisnya tak mengakui dirinya, tetapi sekian banyak orang mengakuinya sebagai pengembala reformis hingga Orde Baru jatuh di 21 Mei 1998 tepatnya 20 tahun yang lalu. Tetapi paling tidak, kisah yang tampil dalam lembaran ini adalah“daya penguat” bahwa peristiwa semacam ini tak akan mungkin terulang kembali. Ditulis dengan apik dengan kejujuran dan kebenaran dari para pelakunya.
Maka, saya sebagai pembaca dari buku tersebut, walau tak merekam secara keseluruhan, tetapi bagi saya buku ini adalah sebuah “pelintasan sejarah” bahwa Reformasi adalah keharusan sejarah bagi generasi di bangsa ini. Tak ada pilihan kecuali perubahan. Sebab ditulis dengan rentetan peristiwa dan pernak-pernik yang menyertainya. Tentunya, Amran Razak sebagai penulis sekaligus perekam jejak sejarah, telah membuat ‘Pusara” bagi dirinya, besok, lusa, atau sampai kapan pun buku ini akan menjadi “peziarah” bagi pembacanya untuk penulisnya. Sebab, kematian penulisnya adalah kelahiran para pembacanya.
Selamat kepada mahaguru Amran Razak, atas dedikasinya melahirkan karya yang monumental ini sebagai catatan kemahasiswaan dalam berbagai agenda gerakan mahasiswa terutama SOLID Unhas di kala itu dan masa yang akan datang.
Makassar, 10 Juni 2018.
Saifuddin al mughniy
(Pendiri Roemah Literasi TITIK KOMA Indonesia)