RESENSI BUKU BARU
|
Salah satu masalah mendasar dalam mengakses pelayanan kesehatan adalah bagaimana menciptakan rasa adil (equity) dan setara (equality) dalam menikmati layanan kesehatan yang tersedia. Kebhinekaan Indonesia secara geografis dengan ribuan pulau dan suku-bangsa dapat memicu disparitas layanan kesehatan antar daerah. Kesan diskriminatif bisa timbul manakala komunitas etnis tertentu mengalami kesulitan dan perbedaan dalam mengakses layanan kesehatan.
Penulis buku ini, dengan cermat menggunakan pendekatan Levesque, et.al (2013) dalam meneliti dimensi akses layanan kesehatan pada komunitas multi etnis di Kota Samarinda, KalimantanTimur. Penulis menyuguhkan 4 komunitas etnis besar (suku Dayak, suku Banjar, suku Bugis, dan suku Jawa).
Dimensi layanan kesehatan multi etnis, tidak saja dilihat dari aspek pelayanan kesehatan modern seperti rumah sakit dan puskesmas, tetapi juga mengungkap sistem kepercayaan mereka (health belief models) terhadap penyakit dan cara pengobatan tradisional.
Konsep lima dimensi aksesibilitas layanan meliputi : 1) Kedekatan (Approachability); 2) Penerimaan (Acceptability); 3) Ketersediaan dan akomodasi (Availability and accommodation); 4) Keterjangkauan (Affordability); 5) Ketepatan (Appropriateness).
Berdasarkan serangkaian Focus Group Discussion (FGD) di setiap etnis dan wawancara mendalam sejumlah tokoh masyarakat dan pemuka adat, penulis buku ini menemukan bahwa aksesibilitas kedekatan (approachability) berkaitan dengan masalah waktu, jarak dan transportasi yang digunakan, berdampak pada beban ekonomi (economic burden) berupa biaya yang harus dikeluarkan agar mereka dapat mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya (Puskesmas dan Rumah Sakit). Penerimaan (acceptability) komunitas 4 etnis sudah terbuka, dilihat dari kunjungan ke fasilitas kesehatan yang mengalami peningkatan. Meskipun tidak ditemukan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan untuk kelompok rentan, tetapi masih ada pasien dan keluarganya merasa menerima perlakuan berbeda dalam proses pelayanan kesehatan. Ketersediaan (availability and accomodation) sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan terutama Puskesmas dalam posisi sebagai “gate keeper” di masing- masing wilayah kerjanya dinilai belum memadai. Ketersediaan SDM Kesehatan yang belum optimal mengakibatkan petugas kesehatan bekerja kurang optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan berkualitas. Kesanggupan pengguna (affordability) diwujudkan dalam pemilikan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari BPJS Kesehatan ternyata belum mencakup keseluruhan penduduk sebagai wujud pencapaian Universal Health Coverage (UHC). Hal ini menjadi hambatan pemerataan akses (ekuitas) layanan kesehatan setiap etnis. Kesesuaian (appropriatenes) terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan, sudah cukup baik dan memadai terutama di puskesmas.
Dimensi hambatan potensial dalam mengakses layanan kesehatan pada komunitas multi etnis di Kota Samarinda dapat bersumber dari pasien, penyedia layanan, dan sistem pelayanan kesehatan. Ditemukan beberapa hambatan potensial tetapi lebih terkait pada tingkat penyedia layanan dan sistem kesehatan seperti gaya komunikasi petugas puskesmas, diskriminasi administratif antara pasien umum dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan jarak tempuh atau fasilitas transportasi publik khususnya suku Dayak.
Secara umum, ditemukan pandangan yang melingkupi komunitas etnis besar di Kota Samarinda – Kalimantan Timur telah terjadi akulturasi yang memungkinkan akibat adanya pergeseran generasi, tak hanya generasi kedua tapi telah menurun ke generasi baru — generasi ketiga yang memiliki pandangan lebih modern dan nyaris terpisah dari leluhurnya terutama suku pendatang seperti suku Bugis. Semangat migrasi antar kota menjadikan mereka lebur dalam tatanan NKRI.
Dr. Ratno Adrianto, SKM, M.Kes kelahiran Pare-pare 3 Juni 1983. Dosen tetap Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Mulawarman (Unmul) sejak tahun 2009. Kini menjabat Wakil Dekan Bidang Keuangan dan Umum – FKM Unmul, Samarinda – Kaltim.
CP : 081354958928
Email : ratnoa83@gmail.com