Aku masuk di SMPN 6 Makassar, sekolah paling top saat itu. Aku diterima dengan cara yang unik. Semasa di SMP, setelah naik kelas dua, sering ada pertandingan olahraga antarpelajar. Terkadang pertandingan tersebut dibumbui dengan gesekan fisik antarsiswa akibat tak puas dengan hasil pertandingan atau dampaksaling ejek suporter. Aku pasti terlibat dalam perseteruan itu. Seorang teman sekelasku di SMPN 6 Makassar, Andi Lily mengingatkanku kalau diriku dari SMP suka teriak-teriak.
Di sisi lain, kenakalanku itu selalu diimbangi dengan meraih predikat siswa berprestasi. Saat para juara kelas diumumkan pada upacara sekolah di akhir kuartal atau saat kenaikan kelas, aku pasti turut dipanggil ke depan. Ikut berjejer menerima rapor termasuk di antara teman sekelasku yang berprestasi—10 terbaik.
Tak heran, karena aku senang bergaul dan belajar. Hampir tak ada kelompok belajar elite di SMPN 6 yang tidak aku masuki. Meski terkadang harus melewati pos penjagaan karena ingin belajar dengan putra kepala polisi daerah (Kapolda) ataupun putri dari Panglima Komando Daerah Angkatan Udara (Pangkodau), terasa segan aku pelan-pelan dan sopan berbaur takut mendorong sepeda kumbangku melewati sang penjaga pos.
Kenakalan dan kepintaranku sudah diprediksi kakekku, I Mangutung Daeng Garra. Konon kakekku telah membekali diriku, “meniupkan” mantra kesaktian ke tubuhku, saat itu aku baru berusia tiga tahun. Mantra itu kelak membuat diriku jadi “jawara”, seorang “pemberani” yang percaya diri, diperhitungkan,dan di-segani kawan dan lawan.
Di masa SMP, di kalangan remaja seusiaku sedang trendi melakukan long march dan mountain climbing (mendaki gunung).
Aku dan teman-temanku tak kalah gaul, mendirikan perkumpulanpencinta alam bernama Orthodox. Mereka antara lain Faizal A. Sapada; Achmad A. Beso Manggabarani – Mado; Sidik Salam- Ondong, Haroen dan Imran Samad – Aco.
Berbeda dengan teman-temanku ketika masih SD di Baraya, kini di SMP aku mulai bergaul dengan sahabat-sahabat dari kalangan ningr at Bugis.
Kami melakukan petualangan pertama—dan sayangnya juga yang terakhir—long march dari markas Orthodox di rumah A. Faizal, Jalan Jenderal Sudirman, Makassar menuju Malino. Cerita Imran (kakak Abraham Samad):
Agar terhindar dari panas yang menyengat kami berjalan malamhari. Camping di lapangan depan rujab Bupati Gowa, besoknya melanjutkan perjalanan ke Malino. Jalan menuju Malino terjal berkelok-kelok. Pusing bila berken-dara.Masa-masa itu awal 1970-an, jalan poros Malino hanya sesekali dilintasi mobil, sangat sunyi jelang sore hari, apalagi saat bukan di hari libur. Aktivitas penduduk desa sudah redup di ambang sore. Ketika sampai di Desa Salotoa, Amran mendengar irama musik dangdut dari radio salah seorang pedagang di pasar, ia spontan berjoget hingga tak terasa bekal beras di ranselku tertumpah.
Seketika teman-teman kesal karena mereka takut tak ada lagi beras yang bisa dimasak. Sebaliknya, pedagang-pedagang di pasar tersebut justru tertawa menyaksikan tingkahnya. Di malam kedua long march, kami memilih bermalam di sebuah pasar tua tak berpenghuni. Kami berbaring di lantai pasar yang amat dingin. Konon di desa itu terkenal angker, diduga masi banyak bergentayangan poppo-parakang’, serupa kuntilanak …hiiyy. Lantaran kecapaian seharian berjalan terus, maka lelap juga tidur kami.
Ketika bangun pagi, kami menemukan mangga muda di sekitar lantai pasar, lalu kami jadikan sarapan pagi. “Alhamdulillah, tak ada juga yang sakit perut.”
Kami melanjutkan long march melintasi pagi menebar benderang, menelusuri jalan berliku di tepi jurang yang terjal, berhiaskan lembah dan pegunungan bak lukisan alam abadi. Angin dingin di ketinggian Malino terasa langsung menggigit, perlahan menusuk pori-pori di kulit tubuh kami, pertanda Malino semakin dekat.
Nun, Malino diberi nama masyarakat setempat, Kampung Lapparak, dalam bahasa Makassar berarti tanah datar, karena hanya di Malino daerahnya datar di antara punggung gunung-gunung yang berdiri kukuh. Kota Malino mulai dikenal dan semakin populer sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika itu, Gubernur Jenderal Caron pada 1927 memerintah di Celebes on Onderhorighodon menjadikan Malino sebagai tempat peristirahatan bagi para pegawai pemerintah.
Jelang sore rombongan kami tiba di Kota Malino. Berkemah di tepian Taman Pasanggrahan Malino. Embun Malino mulai mengambang, kian menebal di senja hari menyelimuti Taman Pasanggrahan. Malam pun tiba, samar-samar lampu pijar Taman Pasanggrahan dinyalakan, jejeran rumah besar, pondok-pondok sewaan di sekitar Pasanggrahan mulai menerangi gelapnya Malino.
Kami lalu mengaso, membuka ransel mempersiapkan panganan. Tragis, bekal ikan teri asin buatan ibu Amran terbang, terbawa kencangnya angin Malino. Saya dan Mado berteriak kecil, “Ekh Ran … ikanmu terbawa angin.” Ia tak mampu meraihnya hanya termangu menyaksikan bungkusan plastik berisi ikan teri itu terbang melayang, meluncur di sela jurang mengarah kaki Gunung Bawakaraeng yang masih dikeramatkan itu.
Saat kami sedang menanak nasi, rumput-rumput kering di sekitar tempat kami berkemah ikut terbakar. Karena panik, seprai alas tidur yang terbuat dari kain gorden kami pakai memadamkan api yang mulai menjalar di sekitar kemah – tempat kami berteduh.
Di hari ketiga long march, kami bergegas pulang ke Makassar. Rasa capek sudah menggeroti sekujur tubuh kami. Menjelang sore hari saat gelap mulai merayap, sebuah mobil truk yang dikemudikan tentara Yon Zipur (yang mengerjakan proyek Jalan Malino) melintas seiring arah kami. Mobil itu segera kami cegat, lalu dengan sekuat tenaga kami berlompatan ke atas bak mobil yang ternyata baru saja membongkar kapur putih. Sopir itu seakan tak peduli, kami tergoncang-gancing kiri-kanan bak muatan batu sungai. Akibatnya, sekujur badan kami jadi “putih” dipenuhi hempasan kapur. Truk itu berhenti di tepi Sungai Bili-Bili ingin memuat lagi batu kali, kami pun turun dari truk, membasuh muka melepas hempasan kapur. Selanjutnya, rombongan kami bergegas berjalan gontai kembali ke Makassar.
Ketika SMP, aku turut menari menyambut kedatangan Raja Belanda Pangeran Bernard di Gubernuran Sulawesi Selatan. Aku ikut dalam grup tari binaan Andi Nurhani Sapada dari Institut Kesenian Sulawesi (IKS) yang tersohor saat itu. Selain diriku, ada pula Faizal, Imran, Mado, Iqbal, Ikhsan, Haroen, dan Fuad. Aku dan beberapa temanku berlakon sebagai bate salapang.
Semasa SMP modalku hanya sepeda kumbang merek Eagle, dari Lorong Kambing tempat tinggalku mengayuh menerobos jalan-jalan kota menuju sekolah atau singgah ke rumah temannya melintasi kawasan elite kota Makassar – bermain dan belajar untuk menebus cita-cita masa depan.
Adakalanya, saat diriku merasa malas bersepeda ke sekolah. Aku bangun lebih pagi, ke luar melintasi dari lorongku, berjalan kaki ke arah barat melewati Jalan Masjid Raya, masuk ke Jalan Gunung Bulusaraung lalu melintas di lapangan Karebosi menuju SMPN 6. Begitu pula bila pulang sekolah, berjalan kaki ke arah sebaliknya, ke arah timur melintasi lapangan Karebosi melewati Masjid Raya.
Terkadang aku sengaja berhenti di sekitar pohon tua keramat yang berdaun lebat di sisi kanan barat Lapangan Karebosi, tergiur mendengar nada-nada provokasi penjual obat dalam kerumunan orang. Aku selalu terpesona dengan retorika sang penjual obat, kemampuannya mendramatisasi keadaan, penguasaan gaya teatrikal yang kuat dan diperoleh secara autodidak. Penonton selalu terpukau menikmati adegan demi adegan, sambil menanti munculnya ular yang dijanjikan akan ditampilkan. Meski misteriitu tidak kunjung terlihat, juga sebagaimana isi keranda yang mungkin tidak berisi. Di saat menanti seperti itu tiba-tiba pertunjukan antiklimaks, penjual obat menyodorkan sejenis obatgatal biasa. Anehnya, selalu ada juga pembelinya entah pembeli sungguhan atau rekaan. Penonton pun bubar membawa rasa penasaran yang tak tuntas. Dari pengalaman unik itu, setidaknya, aku jelang remajaku mendapat sedikit ilmu dari sang penjual obat. Retorika, yah … dengan retorika kaum “pembual” pun bisa tampil mengasyikkan.
Karebosi menjadi simbol kehidupan kota di masa itu. Ondong mengingatkan bahwa salah satu kesukaan anak-anak Orthodox nonton pertunjukan artis-artis ibukota yang mengetop tahun 70-an di Lapangan Karebosi seperti duet artis Mukhsin-Titik Sandora. Kami biasanya sudah mengumpet sejak sore di bawah panggung pertunjukan. Kala pertunjukan artis-artis tersebut berlangsung kami pun menyaksikannya lewat sela-sela papan panggung.
“Siksa tapi asyik”, kenang Ondong tersenyum malu.
Di suatu dini hari, ketika kami, anak-anak Orthodox, sedang bersepeda ria menuju Pantai Losari ingin menghirup udara segar, dari jauh terlihat samar-samar seseorang sedang sibuk membuka pakaiannya. Ketika kami mendekatinya, ternyata orang itu terburu-buru membuang hajat di antara bebatuan pembatas ombak Pantai Losari, jongkok membelakangi kami. Entah siapa yang memulai, kami mengambil pakaian orang itu (baju dan celana) membawa lari sambil berteriak kecil, “jarra ko!” – rasain lu. Orang itu terlihat kelabakan, serba salah, berkali-kali dia berdiri lalu jongkok setinggi air di pinggangnya. Orang itu tak henti-hentinya berteriak memohon agar pakaiannya dikembalikan. Sementara orang-orang mulai ramai ber-loppas (berlari kecil agak santai) menelusuri Pantai Losari menikmati sejuknya hembusan angingmamiri.
Kami sekadar ingin memberi efek jera, agar orang-orang tak seenaknya membuang hajat di Pantai Losari. Entah bagaimana cerita berlanjut, apakah pakaian orang itu kami letakkan tak jauh dari ujung jalan tepian pantai Losari sekitar toko Akai atau membawanya sampai ke markas Orthodox.
Di kala liburan panjang sekolah, ayahku suka mengajakku mengunjungi tempat tugasnya, terutama bila bertugas di Pelabuhan Perahu yang terletak antara Pelabuhan Hatta dan Pelabuhan Soekarno, Makassar. Aku ditemani beberapa awak kapal, memancing di sekitar perahu layar tersebut di sela-sela kapal layar lainnya sambil mereka bercerita pengalamannya sebagai awak perahu layar antarpulau di kawasan timur Indonesia, bahkan sampai ke Jawa dan perbatasan Kalimantan. Perahu layar mereka biasanya mengangkut bahan perabotan dan kebutuhan pokok rumah tangga lainnya. Tak jarang mereka mengalami musibah, perahu pecah dan seluruh isi kapal tenggelam di laut lepas. Mereka pun berusaha menyelamatkan nyawanya.
Saat jelang siang, ketika para awak perahu hendak makan siang, diriku pun diajak santap siang bersama para awak perahu itu. Mereka menikmati hasil pancingan kami. Kalau ikannya di sekitar pinggiran Makassar Golden Hotel (MGH), Makassar.
Kini jejak pelabuhan Perahu tersebut telah hilang karena penggabungan dua pelabuhan
Soekarno dan Hatta menjadi Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar.
kurang diambil dari bekal mereka, lalu menuangkan hidangan khas koki pria perahu layar tersebut.
Seingatku, pernah sekali waktu aku mengendarai sepeda batang, sepeda lelaki yang memiliki batang besi lurus dari stan sadel tempat duduk sampai ke setir. Biasa disebut sepeda batang karena menyulitkan anak perempuan untuk menguasainya akibat menjulurnya rentang batang besi tersebut. Bahkan bagi anak lelaki beranjak remaja, bila ingin mengendarai sepeda batang ini harus memasukkan salah satu kaki agar bisa meraih stan kaki sebelahnya—istilah Makassarnya kocci—barulah bisa mendayuh sepeda tersebut. Sepeda batang itu kupacu dari rumahku di Lorong Kambing—Lorong 108 Jalan Mesjid Raya—menuju Pelabuhan Hatta. Selain ingin menengok ayahku, aku punya agenda utama mencari ode-ode (bungkus rokok utuh) bermerek terkenal seperti cap Bayao (berlogo telur berwarna merah), Lucky Strike, ada juga Triple Five (555), Commodore, dan beberapa merek lainnya. Permainan ode-ode memberi kenikmatan tersendiri, apalagi bila kita memiliki stok yang lebih banyak dibandingkan teman lainnya.
Begitu sampai di Pelabuhan Hatta, aku menanjak terus sepedaku tanpa memedulikan pos jaga di pintu masuk pelabuhan. Akibatnya, aku dikejar polisi pos jaga. Aku tertangkap, dianggap melanggar karena tak melalui prosedur resmi. Aku dikenakan sanksi mengangkat sepeda batang itu sambil berjalan jongkok. Upayaku untuk menjelaskan pada petugas pos jaga tersebut bahwa aku masuk ke pelabuhan karena ingin menemui ayahku, seorang Douane (pegawai Bea Cukai), pengawas hanggar, tak digubris.
Aku akhirnya berhasil bertemu ayahku, lalu kuceritakan kejadian yang menimpahku di pintu masuk Pelabuhan Hatta. Seketika ayahku bergegas menemui piket jaga pintu masuk Pelabuhan Hatta. Kali ini, aku menyaksikan kemarahan seorang ayah yang membela anaknya diperlakukan tak wajar. Kali ini, aku merasa memiliki ayah yang tangguh dan satria.
Di lain waktu, jika aku tahu ayahku sedang bertugas di Pelabuhan Hatta, Makassar aku mengajak teman-temanku pergi memancing di bagian bawah landasan dermaga Pelabuhan Hatta di pagi hari ketika air laut masih surut. Menelusuri celah-celah tiang penyanggah landasan dermaga yang luas, memancing ikan batu, di antara hempasan air laut menerpa dinding tembok pilar penyanggah Pelabuhan Hatta. Kalau air laut mulai pasang, kami pun bergegas naik ke pinggir selatan pelabuhan Hatta, tembus ke Jembatan Besi—Jambatan Bassia (Jambas)—melanjutkan memancing.
Di Jambas, kami harus berhati-hati jangan sampai masuk jebakan seorang ‘babeh’ – tata’ “Daeng Eska” [bukan nama sebenarnya] yang pintar membujuk rayu anak-anak laki-laki agar mau bersamanya menumpang di perahunya berkeliling-keliling di sekitar Jambatan Bassia. Konon daeng itu masyhur di kalangan anak-anak sebagai palatta tara, pedofilis.
Jelang siang, aku dan teman-temanku bergegas menemui ayahku, menunggu diajak makan siang bersama di kantin Pelabuhan Hatta.
Di awal tahun 1970-an, awal aku di bangku SMP, awal semaraknya penduduk Makassar melayang impian melalui undian lottere bernama lotto yang biasanya diundi jelang tengah malam. Lokasi pengundian lotto tersebut di Kawasan Pecinan, Jalan Lembeh. Biasanya jelang undian dilakukan, di sekitar Pecinan selalu ramai oleh penunggu nomor yang bakal ke luar … menang.
Fenomena mengadu keberuntungan melalui undian lotto, sangat terasa merasuki warga Makassar, tak hanya masyarakat kecil seperti tukang becak dan penghuni lorong tetapi juga kelas menengah kota terutama pemilik toko keturunan Cina.
Euforia meramu angka-angka jitu ditebak melalui berbagai macam lembaran “teka-teki” yang dikeluarkan para peramal lotto di Makassar. Kala itu, ada teka-teki paling populer yang dikeluarkan oleh Haji Sulaimana berkediaman di sekitar Jalan Tinumbu.
Biasanya diekspos jelang sore hari—terkadang lebih cepat, siang hari—meskipun para pemburu teka-teki itu sudah di sekitar rumah Haji Sulaimana sejak pagi hari. Teka-teki Haji Sulaimana nyaris tak pernah meleset tebakannya karena pembenarannya selalu saja dapat dicocok-cocokkan setelah ketahuan nomor lotto hasil undian semalamnya. Ada istilah kala itu kalau tebakan meleset; salah piccah, salah pecah.
Selain teka-teki produk Haji Sulaimana, ada teka-teki saingannya yang biasanya beredar agak pagi seperti laba-laba dan bintang taurus. Pesona rumus-rumus bertumpukan angka-angka yang kelihatan sederhana dari teka-teki itu, memerlukan energi kernyitan alis berkali-kali menerka digit angka-angka timbul—menonjol—menumpuk bertindasan untuk menarik probabilitas dari rumus-rumus tersebut.
Di sudut-sudut jalan raya, tempat mangkal para tukang becak bercorak sewarna kesibukan para tukang becak, berkumpul atau sendiri-sendiri di atas tempat duduk becaknya menebak-nebak lembaran teka-teki lotre di tangannya. Potret lorong-lorong kota pun terbius pula tebakan beragam teka-teki tersebut, tak cuma ibu rumah tangga bahkan di kondangan saling berbagi nomor bakal taruhannya. Tapi, harus waspada jangan sampai bandar tahu, kalau ada “nomor panas”—banyak petaruh memilih nomor itu—biasanya bandar berusaha menghindari lompatnya nomor panas tersebut pada putaran malam harinya. Konon bandarnya kala itu terkenal bernama Cuppang. Kala itu, menjamur pula paranormal spesialis angka-angka keramat. Sejumlah orang bahkan rajin mengunjungi kuburan “orang sakti”, mencari wangsitnomor jitu.
Sebenarnya, taruhan paling sengit dengan omzet besar adalah bukan pada agen resmi penjualan nomor lotto, tapi di arena “bandar gelap” pangsa kelas bawah biasanya disebut lotto buntu. Transaksi lotto buntu biasanya dilakukan hanya di atas selembar kertas apa saja, terkadang merobek buku tulis anak mereka. Mungkin upaya preventif mereka, agar transaksi gelap itu tidak terendus polisi. Omzetnya besar, lantaran banyak sekali bandar-bandar kecil. Bandar kecilnya boleh siapa saja, tapi biasanya ada angko sebagai bandar besar yang menadah omzet bandar-bandar kecil tersebut.
Ayahku, senang mengisi waktu luangnya menelaah rumus rumus laba-laba. Entah bagaimana awalnya, ayahku melibatkan diriku dalam jebakan euforia angka-angka jitu yang bakal ke luar dari undian lotto malam harinya. Meski tak saban hari, aku dibekali lembaran hasil telaah dan duplikasinya—semacam improvisasi dari rumus laba-laba. Hasil itu dalam selebaran teka-teki baru, entah apa namanya. Ayahku menuliskannya dalam lembaran kertas sewarna teka-teki laba-laba, lebih sederhana karena ditulis menggunakan kertas karbon berlapis-lapis. Ketika aku berangkat ke sekolah, aku dibekali teka-teki improvisasi ayahku, kujajakan di deretan pemilik toko-toko cina sepanjang Jalan Gunung Bulusaraung, sebelum melintasi lapangan Karebosi. Entah mengapa, selalu saja teka-teki terjual, mungkin nona-nona pemilik toko itu selalu mencari alternatif kisi-kisi lain.
Suatu hari, ayahku tak sempat membekali aku teka-teki hasil pecahannya. Aku terpaksa “meramu” sendiri, membuat tekateki yang mulai disenangi nona-nona pemilik toko di deretan Jalan G. Bulusaraung untuk dipecahkan. Ketika aku berada di deretan ujung toko, pada toko ketiga jalan G. Bulusaraung dekat lapangan Karebosi (kini sejajar MTC Karebosi, deretan toko seluler), kujajakan lagi teki-teki “ramuan”ku sendiri. Salah seorang nona cantik pemilik toko tersebut berminat membelinya. Amoi itu berkata: “Besok pi nah, kubayar teka-tekimu. Kalau nomor andalannya naik. Kukasih ko bonus besar.” Aku pun setuju, lalu bergegas takut terlambat masuk sekolah. Ternyata, tengah malam itu nomor yang meloncat dari lotre undian lotto—di Pecinan itu adalah nomor 16, persis seperti goresan untaian nomor yang kutulis sangat jelas pada teka-teki ramuan itu. Hari itu, aku mendapat bonus cukup besar. Sejak hari itu, mereka mulai mempercayaiku.
Suatu hari, aku ditugasi ayahku mengisi daftar isian pengajuan kenaikan pangkat sang ayah sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kantor Bea dan Cukai Makassar. Aku tahu, sang ayah suka memperhatikan diriku bila sedang menulis tangan, tegak, dan teratur. Kuisi kotak-kotak huruf dalam formulir daftar isian kenaikan pangkat ayah. Aku butuh dua hari menyelesaikan daftar isian itu. Aku pun berusaha menulis tanpa kesalahan.
Selama menulis riwayat pekerjaan ayahku itulah, terasa sangat menyiksa diriku. Terbalut sedih dan haru, harus menuliskan jenjang kepangkatan ayahku, dari jongos—juru muda tingkat satu— sampai pengatur muda tingkat satu, dari golongan I/b sampai golongan II/b. Betapa melelahkan!
Ayahku bekerja saat masih usia muda, belum berusia 21 tahun, memakai ijazah SMP. Karena itu, aku pun bergumam dan berjanji dalam hati, bila kelak jadi PNS … aku tak akan mau meniti karier dari jenjang kepangkatan rendah yang sungguh melelahkan itu. Aku harus bersekolah setinggi-tingginya meskipun cuma seorang anak Lorong Kambing.
______________________________________________
Diambil dari buku Demonstran Dari Lorong Kambing (DDLK) – 2015