Oleh : Iskandar Pasajo (Acos)
Insya Allah, Opu Yayath masuk surga, begitu kalimat pertama saya sampaikan ke isteri saya, sesaat setelah menerima kabar. Opu Yayath sudah berzikir La ilaha illallah dalam hatinya. Innalillahi wa inna ilahi rajiun.
Bersama almarhum, ceritanya banyak dan panjang, sejak tahun 1980-an di Kampus Universitas Hasanuddin, di Sanggar Merah Putih Makassar (SMPM) bersama Kak Yudi, Dewi, Patta Nasrah, Cucut, Baso Natsir, Mustain Harun, dkk. Kami merancang pelatihan kader seniman Sanggar Merah Putih, lanjut bastra HMI, LK IMM selalu bersama.
Opu Yayath, kaya gagasan, kreatif, pekerja keras dan ulet. Hingga tahun 2020 menggagas pembentukan aliansi komunitas masyarakat Teluk Bone.
Mau nikah, dia bilang : “Tidak kawinka kalo kau tidak ikut ke Kolaka”. Saya dengan isteri ikut ke kolaka. Sampai di Kolaka, pagi hari ternyata persiapan untuk acara nikah belum ada. Pangggung, tenda kursi, semuanya belum ada. Di rumah calon isterinya (Ratu Dewi), juga masih sepi.
Bersyukur, jumpa pak Rusda Mahmud (saat itu belum bupati) Pak Rusda bilang : “Urusan pengantin sebentar sekaliji saya kerahkan pasukan”.
Dan benar, saat itu belum sampai jam 13:00 siang atau sekitar 10 sampai 20 menit sebelum undang hadir, seperti disulap, panggung, tenda, kursi serta perlengkapan lainnya sudah tertata rapi 99,9%. Bagi saya, ini pernikahan ngeri-ngeri sedap. Opu Yayath menikah dengan Ratu Dewi pada 3 Oktober 2004 di Kota Kolaka, diiringi sorak-sorai tepuk tangan dan suka-cita. “Hooree Horee ‘akhirnya’ menikah juga ……”, teriak Ahmad Jais aktifis HMI Makassar yang memicu gemuruh tawa dari kursi undangan tak terkecuali Andi Hatta Marakarma. Di antaranya terlihat Sawedi Muhammad beserta rombongan dari Inco. “Selamat Opu Yayath, akhirnya menikah juga”, sambut Sawedi tersenyum.
Menjelang pilkada Luwu Timur yang pertama, Opu Yayath menelpon terus, ke Malili. “…ko bantuka”, ujarnya. Saya berangkat ke Malili. Selama di Malili makan tidur saja, karena semua persiapan tim sukses dan rekrutmen lapangan sudah rampung semua. Opu Yayath memang pekerja keras rapi dan detail. Saya bertanya: “Apami saya kerjaku Opu…?”. Dia jawab : “Temanika saja minum kopi, merokok, nanti sekali-sekali kita kerjain Asdar Muis RMS”.
Luar bisa opu.
Sedih sekali ingat semua ini.
Selama masa pandemi COVID-19, saya terus kirim berita WA agar waspada COVID-19. Kadang tidak menjawab, ternyata sudah terbaring sakit di Kolaka. Dia tidak bilang-bilang kalo dirinya sedang sakit.
Sebelumnya, saya pernah ceritakan bahwa nenek-nenek kita dulu orang tareqat. Kita perlu belajar tareqat, untuk memperkuat zikir, jalan menuju surga. Kami sepakat akan belajar tareqat, kebetulan juga rumahnya Ilham Anwar – ILO (artis Nasional asal Makassar) dekat dari pesantren tareqat itu di Tangerang Selatan.
WA terakhir saya terima dari Opu Yayath bulanr nopember 2020 lalu, dia bilang, : “Nanti saya “kenalkanki” — (kosa-kata ini ciri khas A.Yayath, sangat sopan) dengan teman kecilku, dia di PLN pusat.
Sejak saat itulah saya menunggu dirumah saja, tidak keluar rumah juga untuk waspada COVID-19, hingga datang berita, Opu Yayath sudah pergi.
Inna lilllah wa inna ilaihi rajiun.
Mendengar berita berpulangnya ke rahmatullah A.Yayath, saya ngambang sedih. Isteri saya terus menelpon istrinya almarhun (Ratu Dewi), jawaban kami terima, jenazah sudah sampai di Radda dalam perjalanan ke Malili.
Buat kami sekeluarga Opu Yayath lebih dari saudara, lebih dari keluarga, lebih dari sekedar mitra professional. Beliau juga guru bagi perilaku tata krama, sopan santun budaya LUWU.
Saat isterinya (Ratu Dewi) mau melahirkan, anak pertama sampai anak ketiga, opu Yayath tidak mau mengerti, pokoknya isteri saya harus datang menjaga (merawat) istrinya di rumah bersalin, semua itu alhamdulillah kami turuti dengan senang hati.
Semoga bahagia, selamat kembali ‘ke sana’ alam asal-usul kita semua. Doa kami menyertai Opu Yayath.
Al fatehah, Aamiin YRA.
Wassalam,
Tangerang Selatan, 18 des. 2020