Oleh : Amran Razak
Pemerintah Indonesia akhirnya memilih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai langkah mengendalikan penyebaran coronavirus (Covid-19). Langkah ini diperlukan, dan jika tidak ada upaya seperti itu kita menghadapi risiko sistem perawatan kesehatan (health care system) yang luar biasa ‘amburadul’ dan menimbulkan kematian yang substansial. Meski demikian, pilihan PSBB merupakan solusi yang tak bebas biaya dan dapat memiliki konsekuensi kesehatan yang terus menggerogotinya. Selain itu, menyebabkan perlambatan ekonomi daerah dan nasional bahkan global yang berdampak lama.
Mengulas pasal pekerjaan, pertanda awal dari ‘kemeranaan’. Apa gerangan yang terjadi di hari-hari mendatang akibat adanya penambahan 5,23 juta pengangguran dampak Covid-19, disertai tambahan 3,78 juta orang miskin dan akan terus bertambah.
Hasil riset Center of Reform on Economics (CORE), menunjukkan pekerjaan yang akan paling terkena dampak pandemi Covid-19 adalah pekerja bebas atau pekerja lepas dan pengusaha UMKM.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini ada 64.194.057 UMKM di Indonesia. Rincian dari jumlah tersebut ialah 60.702 unit usaha menengah, 783.132 unit usaha kecil, dan 63,3 juta unit usaha mikro.
“Jangan dianggap remeh, yang hidup dari usaha mikro berdasarkan catatan Kemenkop UKM mencapai lebih dari 107 juta orang. Jadi, kalau penanganan dampak Covid-19 di sektor mikro ini tidak tepat, ratusan juta orang bisa menganggur dan masuk dalam kelompok masyarakat tidak mampu,” ujar Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat. (antaranews.com, 30/04/2020)
Fenomena WFH
Work From Home (WFH) dengan mengandalkan online/daring/vicon, tak banyak orang yang terkait dengan profesinya. Jenis dan sifat dari tindakan-tindakan ini, kehilangan pekerjaan secara tidak proporsional akan menimpa pekerja kasar bergaji rendah di mana teleworking tidak dimungkinkan.
Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat (2017–2018) menunjukkan bahwa hanya 9,2 persen pekerjaan dengan penghasilan yang sama atau di bawah persentil ke-25 dapat dilakukan melalui telework. Kondisi ini, memicu ketidakadilan historis dan struktural dalam pasar tenaga kerja.
Sebuah berita bertajuk “Honorer Tidak Digaji, Indra : Enak Dosen dan Guru PNS, Tidur-Tiduran Tetap Digaji” (fajar.co.id, 30/4/2020) mengundang kontroversi lantaran menyoal ketidakadilan terhadap pegawai honorer yang dibedakan dengan dosen dan guru berstatus PNS, sebagaimana diungkap pengamat dan praktisi pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji. Ia melihat perkembangan WFH dan belajar daring, sepertinya yang aktif justru honorer. (JPNN.com, 30/4/2020)
Sejumlah dosen dan guru menulis dilaman facebook mereka menanggapi bahwa jauh lebih sulit mengajar secara virtual karena harus mencari, menyusun, dan menyajikan materi kuliah online. Bahkan sejak pandemi Covid-19, mahasiswa tak mengenal waktu dan kondisi untuk konsultasi – setiap hari-setiap saat. !!!
Pengangguran akibat berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), di samping cakupannya yang luas, juga cenderung memperburuk ketidakadilan yang ada di antara jenis dan status pekerjaan.
Berdasarkan data Federal Reserve Amerika Serikat (2018-2019) menunjukkan bahwa satu dari 10 orang dewasa Amerika Serikat sudah hidup susah – berjuang menebus tagihan bulanan. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa jika dihadapkan dengan tagihan tak terduga hanya $ 400 (senilai biaya publikasi journal Scopus Q4), 27 persen orang Amerika akan perlu meminjam atau menjual sesuatu untuk membayar pengeluaran (tidak termasuk penggunaan kartu kredit) dan 12 persen sama sekali tidak akan mampu menutupi biaya tersebut. Angka-angka ini kemungkinan akan bertambah sebagai respons terhadap kehilangan pekerjaan dan pengurangan jam kerja yang tersedia.
Kehilangan pekerjaan yang terus bertambah akibat dampak dari penutupan sekolah. Sistem sekolah memberikan dukungan sosial yang signifikan, terutama untuk rumah tangga orang tua tunggal (single parent). Lebih dari 10 persen rumah tangga Afrika-Amerika terdiri dari satu orang tua perempuan tunggal dengan satu atau lebih anak, kini menghadapi beban ganda ketidakamanan pekerjaan dan kurangnya pilihan pengasuhan anak.
Penutupan sekolah juga secara tidak proporsional memeranakan lebih dari 25.238.229 anak Sekolah Dasar (SD) di Indonesia yang masih lugu, mereka telah kehilangan ‘tempat tinggal’, yang bagi mereka dukungan dari lingkungan sekolah sangat penting.
Potret Kaum Milenial
Ancaman resesi ekonomi yang akan datang juga cenderung memiliki dampak jangka panjang pada gaji dalam jangka panjang, dengan implikasi khusus bagi alumnus tahun 2019-2020.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2019, jumlah pengangguran lulusan universitas mencapai 5,67 persen dari total angkatan kerja sekitar 13 juta orang. Angka ini, menjadi lebih dari 1 juta bila dimasukkan lulusan periode juni/juli 2020.
Kaum milenial akan menanggung beban yang signifikan pada saat resesi, baik dalam hal tingkat pengangguran yang lebih tinggi, dan gaji yang lebih rendah, yang cenderung menimpa paling banyak bagi pendatang baru ke pasar kerja.
Di Amerika Serikat, lebih dari setengah lulusan setelah resesi hebat menemukan pekerjaan paling cepat sembilan bulan setelah lulus. Seringkali dengan kondisi yang lebih buruk dan membayar dari pada yang seharusnya. Konsekuensi ini bertahan lama, dengan penurunan pendapatan yang bisa bertahan beberapa dekade kemudian. Dibandingkan dengan kaum milenial yang memasuki pekerjaan di tengah tingkat pengangguran sekitar 5 persen, kaum milenial yang memasuki pasar kerja ketika pengangguran tinggi (sekitar 20 persen), di masa lalu menghadapi kehilangan upah tahunan rata-rata 20 persen, bahkan terasa hingga 15 tahun setelah lulus.
Dikabarkan, sejak 4 Mei 2020 (wartaekonomi.co.id, 04/05/2020), perusahaan Grab Holdings Inc. yang berpusat di Singapura telah meminta untuk mengambil cuti tanpa gaji secara sukarela dan mengurangi jam kerja. Hal ini dilakukan demi menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi coronavirus (Covid-19).
Berdasarkan hasil aplikasi Grab dan Gojek sudah menembus 16 juta kali atau setara 6 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2019 yang mencapai 267 juta jiwa.(ekonomi.bisnis.com, 20/11/2019)
Padahal beberapa hasil survei dan laporan BPS menunjukkan kehadiran ojek online telah menekan angka pengangguran di Indonesia.
Suatu ironi baru, disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat, M. Ridwan Kamil bahwa sebelum penyebaran coronavirus (Covid-19) hanya 9 juta penduduknya yang meminta bantuan. Kini, setelah Covid-19 menyebar ternyata 38 juta atau 2/3 dari populasi penduduk Jawa Barat yang minta bantuan. (ILC#Benarkah PSBB Akan Dilonggarkan, 5 Mei 2020).
Seminggu kemudian, Anis Baswedan Gubernur DKI Jakarta melengkapi ironi ini, menyatakan bahwa lebih dari 60 persen penduduknya minta bantuan. (ILC#Kisruh Bansos : Sengkarut Antara Pusat dan Daerah, 12 Mei 2020)
Di awal Juni 2020, seorang pengacara muda yang mulai menanjak kariernya di ibukota negara menceritakan bahwa selama ini, pendapatan bulannya minimal Rp 50 jutaan, tapi sejak masuk bulan Mei menurun dratis menjadi hanya Rp 8 jutaan, dan diawal Juni 2020 malah berada dititik terendah nol rupiah.
Setidaknya, ada dana stimulan sebesar Rp 110 Triliun yang disediakan pemerintah untuk perlindungan sosial (social safety net) mencakup 10 juta penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan 20 juta penerima Kartu Prakerja, insentif cicilan KPR untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), diskon tarif listrik bersubsidi. Adapula, Program Pemulihan Ekonomi sebesar Rp. 150 Triliun untuk restrukturisasi kredit, penjaminan dan pembiayaan dunia usaha khususnya UMKM. (Perpu Nomor 1 Tahun 2020)
Paket bantuan pemerintah untuk memitigasi dampak penyebaran coronavirus (Covid-19) di Indonesia, sangat ditentukan pada sejauhmana langkah-langkah dalam kebijakan yang ada, benar-benar dilaksanakan dan bagaimana implementasinya berhasil menahan kehilangan pekerjaan akibat kontraksi ekonomi.
“Skala dan distribusi yang tidak merata dari gangguan ini pada kehidupan manusia harus memberi kita jeda. Tindakan seperti itu tidak hanya menyebabkan gangguan ekonomi tetapi juga sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Berfokus hanya pada bahaya kesehatan yang terkait dengan pengangguran, kehilangan pendapatan, dan dampak luas pada hasil kesehatan mental yang terkait dengan peristiwa traumatis dan isolasi sosial dapat memberi kita gambaran tentang puncak gunung es”, tulis Nason Maani dan Sandro Galea (scientificamerican.com, 2020).
Seperti kata Adam Benson psikolog yang berpraktek di New York selama dari 20 tahun : “Mungkin yang berbeda dari situasi saat ini adalah adanya kepercayaan bahwa situasi ini hanyalah sementara dan ketika kondisi membaik, semua akan kembali normal”, tulis Damain Fowler di Worklife BBC, 29 Maret 2020.
Di sepanjang pandemi Covid-19 yang telah menelan begitu banyak korban, upaya untuk melawannya akan menimbulkan kemeranaan. #bersamamelawanmerana
Tibalah saatnya kita berdendang –menyanyikan sebait lagu kesukaan salah seorang pendiri FKM Unhas, Guru Besar (Emeretus) Dr. H. M. Rusli Ngatimin, MPH :
Que será, será
What will be, will be
The future’s not ours to see
Que será, será
What will be, will be
pertapaan bukit baruga, 08 Mei 2020
Diedit : 13 Juni 2020; ilustrasi : Fox 17
Tulisan ini telah dimuat pada buku MERAJUT ASA : Di TENGAH PANDEMI COVID-19; Pandangan Ilmuwan UNHAS, Dewan Professor Unhas, depublish, Jogyakarta, juni 2020.