*Catatan Penulis : Bagi mereka yang terlahir 40-50an tahun silam, mungkin bisa menikmati suasana ramadhan di sekitar Mesjid Raya Makassar (1383 H-1411 H)
***
Anak-anak dan remaja lorong-lorong di sepanjang jalan Mesjid Raya selalu merindukan datang bulan suci ramadhan. Sepanjang bulan ramadhan, mereka bisa menikmati suasana ramadhan dengan penuh kegairahan.
Aku menjadi anak mesjid raya sejak tahun 1962 awal kepindahan keluargaku di lorong kambing – jalan mesjid raya, setahun sebelum aku masuk Sekolah Dasar. Bahkan, setahun sebelumnya aku sudah menginjakkan kaki di kawasan jalan mesjid raya, ketika masih ngontrak di rumah panggung jalan Lobak yang hanya berseberangan dengan lorong kambing – lorong 108. Jarak dari rumahku ke mesjid raya tak lebih dari 160 meter ke arah barat. Mesjid raya jadi ‘sekolah’ kami di saat libur – ramadhan.
Di malam pertama tarawih, malam paling semarak. Anak-anak lelaki terlihat memakai pakaian gamis, kopiah hitam, songkok haji berwarna putih bersih, berselempang sajadah tipis. Anak-anak perempuan terlihat mengenakan talqum berwarna-warni sedikit norak, berjalan santai menuju area mesjid raya, Makassar. Mesjid Raya Makassar merupakan mesjid terbesar dan tersohor di Makassar sebelum dibangun mesjid Al-Markas Al-Islami tahun 1994. Mesjid raya dibangun tahun 1957 oleh M.Soebardjo. Ditahun itu pula, Presiden Soekarno sempat jumatan di Mesjid Raya. Berdampingan dengan mesjid raya adalah rumah keluarga Haji Kalla — orang tua H.M. Jusuf Kalla lewat Jalan Andalas.
Jamaah tarawih mesjid raya tak hanya berasal dari penduduk yang berdomisili di jalan mesjid raya, tetapi juga radius daerah sekitarnya seperti di bagian barat mesjid raya, jalan Andalas, jalan Bulusaraung, jalan Laiya, dan jalan Pa’jenekang, di bagian selatan jalan Latimodjong, jalan Cerekang, jalan Veteran dan jalan Bawakaraeng. Di bagian timur masjid raya dari jalan Bandang, jalan Lamuru, jalan Sembilan, lorong 108, lorong 108A, jalan Kandea raya, jalan Lobak, jalan Terong, jalan Kubis, dan jalan Sunu. Khususnya dari arus timur jalan mesjid raya, jamaahnya berasal dari kampong Baraya, Wajo Baru, Malimongan Baru (Malbar), Kalukuang dan Maccini.
Remaja-remaja lorong di malam pertama tarawih, berpakaian gamis – trendi, mereka memakai pakaian sholat yang sudah dipersiapkan sejak lama, dibeli dari pinggiran Pasar Sentral. Corak warna menawan, berkilau menebar spirit ramadhan. Remaja lorong melimpah ruah memenuhi jalan, bahkan menguasai ruas jalan raya, berjejal sepanjang jalan Mesjid Raya hingga memasuki area mesjid. Ada juga di antara mereka, berjejal sekedar memandangi para jamaah tarawih yang melintas, berjalan teratur, sekonyong tergesa-gesa. Ada pula remaja sekedar mejeng di antara gerobak-gerobak penjual kue terang bulan dan martabak telor jelang tarawih. Sepanjang ramadhan, di jalan mesjid raya, semarak dihiasi gerobak penjual berjejeran. Lampu gerobaknya bersinar terang, bergelimang cahaya “stroomking” juga neon, berusaha menggoda calon pembelinya.
Di sore pertama ramadhan, di depan lorongku, beberapa ibu penghuni lorong kambing itu tak mau ketinggalan menjaja jualan mereka. Ada yang menjual manisan, asinan, es pisang ijo, es pallubutung, kolang-kaling, kue lapis dan kue penganan lainnya.
Saat jelang-remaja, bila bertarawih di mesjid raya sesekali aku dan teman-temanku suka usil, melintasi pembatas jamaah perempuan dan laki-laki terutama di kelompok remaja putri hanya sekedar ingin menyapa atau mempertontonkan sedikit keberanian. Keberanian untuk dikejar penjaga mesjid atau bos keamanan seorang pensiunan perwira polisi. Ketika tawarih berlangsung, suasana gaduh menghiasi gerombolan anak-anak lorongku, mereka terkadang saling sikut sambil tersenyum tipis, saling tarik baju atau sarung teman di saf sebelahnya. Di masa akhir bacaan surat al-Fatihah dari imam tarawih, untuk menyerukan “Amiiiiin !!! dengan berbagai suara yang sengaja dipanjang-panjangkan, diputar-putar, dilengkingkan atau dipatah-patahkan agar terdengar lucu. Anak-anak itu seakan berimprovisasi dalam seruan “Amin” agar jamaah tarawih merasa geli.
Selesai tarawih, jalan sekitar mesjid raya mulai lengang. Mereka masuk ke rumah-rumah mereka di lorong, mengaso sejenak. Seusai mengaso, penghuni lorong kambing mulai berjejal memadati ruas lorong yang sempit. Mereka mengisi sisa malam dengan berbagai permaian, terkadang mengarah keperjudian. Bermain ‘King’, suara lantang berirama seseorang menyebutkan nomor-nomor tertentu yang sudah di lot. Lalu nomor-nomor itu, diurut, bila sebaris penuh – vertikal atau horizontal maka dia ‘king’ keluar sebagai pemenangnya. Pemenang pun berteriak, “Yech .. saya King.” Lalu nomor-nomor terurut itu dicocokkan. Persis, … menang !.
Biasanya pemenang mendapat hadiah tertentu, terkadang ditebus sejumlah uang. Semakin larut malam, semakin tua ramadhan, semakin seru permainan king.
Seusai sholat subuh di Mesjid Raya, remaja-remaja lorongku melanjutkan ramadhannya. Mereka melakukan safari tour ke pantai losari, berkelompok, riang gembira, kadang ada pula berpasangan berjalan bersama sang pacar, sesama anak lorong.
Suasana dua minggu pertama ramadhan amat semarak. Memasuki hari terakhir minggu kedua mulai terlihat kurang semarak. Apalagi seminggu memasuki lebaran, Jemaah Mesjid Raya yang setia hanya mereka berusia tua, para tetua lorong kambing. Anak-anak muda lebih banyak hanya bertebaran di sekitar mesjid raya, ‘mejeng’. Remaja cowok memasang ‘jebakan’, duduk menyamping di motornya. Remaja cewek bersolekfull, mondar-mandir, berlagak belanja apa saja melewati perangkap remaja pria. Sementara di sudut lain mesjid raya, anak-anak lorong itu tampak ceria, bergerombol, bermain, menari memainkan perlengkapan sholat mereka dengan saling memukul badan menggunakan sajadahnya.
Dalam semarak tarawih sepanjang ramadhan, sesekali terjadi juga gesekan, ekses persaingan antar sekelompok kecil remaja, penguasaan teritori mesjid raya, meski tak pernah berbuntut tawuran. Ekses tersebut bisa dilokalisir karena relatif masih saling mengenal walaupun berasal dari kampong atau lingkungan berbeda.
Remaja jalan mesjid raya, khususnya anak lorong kambing – lorong 108 dan lorong 108A, kandea depan khususnya RW IV, memiliki pencitraan tersendiri sebagai remaja santun dan terpelajar (mahasiswa), mereka disegani remaja-pemuda dari kampung – lingkungan lainnya seperti Kalukuang dan Malbar yang terkenal daerah ‘jagoan’. Mereka menguasai Pasar Kalimbu – pasar ‘rombengan’, Karebosi dan Pintu 2 pelabuhan Makassar tempat beraksi para pakocci – pencopet dan area transaksi pakappala tallang – penipu berlagak pelaut parlente dari luar negeri yang telantar karena kapalnya tenggelam, perlu duit jadi ingin segera melego arloji Rolex-nya dengan harga miring. Siapa berminat ?.
Itulah sebabnya, selama puluhan tahun, puluhan bulan ramadhan tak pernah terjadi gesekan antara remaja di sepanjang jalan mesjid raya ke arah timur melewati depan kampus Universitas Hasanuddin. Mungkin terbius aroma kampus Unhas, perguruan tinggi negeri terkemuka di Kawasan Timur Indonesia itu. Teritori damai dan menyenangkan menunaikan tarawih di mesjid raya, mesjid terbesar di Makassar.
Sungguh indah suasana ramadhan kala itu, liburan sebulan penuh melupakan suasana sumpek, guru yang garang di ruang-ruang kelas sekolah kami.
Masihkah Anda teringat kenangan masa itu ?
_______________________________
Foto : Mesjid Raya Makassar yang sudah direnovasi, meski struktur bangunan pintu-pintu masuk relatif tak berubah.
Dicuplik dari buku DEMONSTRAN DARI LORONG KAMBING (DDLK), Pranada Media, Jakarta, 2015